Sabtu, 12 Desember 2015

cerpen 2



Pemahat Abad

Kopag menjatuhkan pisau ukirnya yang runcing. Hampir saja pisau itu memahat kakinya. Semua gara-gara dia mencium bau yang aneh dari sudut pintu. Seperti bau daun-daun kering dan kayu basah. Aneh, dari mana datangnya bau yang membuatnya begitu gelisah? Bau itu semakin mendekat.
“siapa itu?”
“titiang. Luh Srenggi.”         
“Srenggi? Srenggi siapa?!” Kopag semakin menggigil. Bau itu semakin mendekat dan menyesakkan dadanya. Tangannya jadi lapar. Dia memerlukan alat-alat pahatnya. Pisau-pisau yang runcing terbayang di otaknya. Kopag menggigil ketika bau itu benar-benar menelanjangi wujud laki-lakinya. “Katakan padaku, siapa kau?!”
“Titiang yang akan melayani seluruh keperluan Ratu. Mulai hari ini dan seterusnya.” Suara itu terdengar gugup.
“Siapa tadi nama mu?” Kopag mulai menenenangkan dirinya sendiri.
“Luh Srenggi.” Suara itu terdengar bergetar. Suara itu adalah suara perempuan. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kopag memaki dirinya sendiri. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia seperti ditenggelamkan ke lautan. Suara itu dirasakan penuh kejujuran, kasih sayang, dan sangat tulus.
Kopag yakin dugaannya ini tidak meleset. Inilah perempuan itu, perempuan yang dicarinya berabad-abad. Sekarang Hyang Widhi mengirim untuknya. Seorang perempuan, benarkah suara ini milik seorang perempuan?
Ketika Kopag akan mengambil tongkatnya, Luh Srenggi cepat-cepat membantu. Tangan mereka bersentuhan. Kopag semakin gelisah. Kulit perempuan itu seperti kayu. Luar biasa. Perempuan itu pasti memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan sebatang pohon, atau seonggok kayu yang paling sakral sekalipun.
Baru kali ini Kopag merasakan dapat menikmati hidupnya. Dia dapat memberikan penilaian yang objektif terhadap benda hidup yang bernama manusia. Biasanya dia hanya dijadikan objek, sekedar mendengarkan keputusan orang-orang terdekatnya. Apapun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya, Kopag harus patuh.
Kali ini, dia merasa menemukan kebenaran yang berbeda dengan kebenararan yang diyakini oleh orang-orang yang selama ini rajin menanamkan kebenaran yang telah menjadi ukuran mereka.
“apakah di bumi ini wujud kebenaran itu sudah seragam, Gubreg?”
Suara Kopag terdengar getir,”bahkan untuk menilai keindahan itu, aku juga harus memakai kriteria mereka?
“Kebenaran mereka?” Aku tidak yakin mereka mampu melihat seluruh keindahan hidup ini dengan benar!” suara Kopag terdengar
Penuh tekanan. Pikirannya kacau.
Kopag sadar, sangat sadar. Dilahirkan sebagai laki-laki buta memang tidak menggairahkan. Karena tak ada perempuan-perempuan yang dapat dilihatnya dengan matanya.
Tapi, apakah orang-orang yang memiliki kelengkapan utuh sebagai manusia ketika dilahirkan mampu menangkap seluruh rahasia kehidupan ini? Rahasia yang erat-erat digenggam dan disembunyikan alam? Salahkah kalau tiba-tiba saja Kopag menemukan kecantikan yang luar biasa pada diri Luh Srenggi.
Kecantikan yang dia lihat dengan pikiran, perasaan, dan keindahannya sendiri... salahkah?
Kecantikan perempuan muda itu adalah kecantikan yang sangat luar biasa. Tubuhnya seperti lekukan kayu. Seluruh wajahnya juga lekukan kayu. Dia adalah kayu terindah dan tercantik. Aneh sekali tak ada manusia yang dapat menangkap kecantikannya. Menghargai keindahan yang dititipkan alam padanya.
Bahkan Gubreg, pelayan tua itu, juga tidak berkomentar ketika Kopag memuji keindahan perempuan delapan belas tahun itu. Apa yang sesungguhnya salah pada kriteria yang telah diberikan Kopag terhadap perempuan?
*******
Kehidupan telah memaksa bocah laki-laki itu memakai label Ida Bagus Made Kopag, agar orang-orang mudah mengenalinya dan membedakan dirinya berbeda dengan manusia lainnya. Dia anak laki-laki kedua yang lahir dari keluarga terkaya di Griya. Gelar Ida Bagus menunjukan bahwa dia adalah anak laki-laki dari golongan brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakyat Bali.
Ayahnya seorang laki-laki sangat terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Dia juga memilki puluhan galeri lukis dan patung.
Sayangnya, laki-laki itu memilki mata yang sangat liar. Laki-laki itu adalah binatang yang paling mengerikan.
Kata orang, laki-laki itu dapat tidur dengan seluruh perempuan. Dia tidak pernah peduli, cantikkah perempuan itu, sehatkah dia? Bagi ayah Kopag, setiap mahluk yang memilki lubang dapat dimasuki.
*******
Kopag menarik nafasnya dalam-dalam. Di sentuhnya kayu kering yang selama ini mengantarnya ke mana dia pergi. Jujur saja, Kopag sangat menyukai kayu yang mengenalkannya pada dunianya. Dunia yang diinginkan. Sebuah kesunyian dengan pagar-pagar keindahan. Tanpa teriakan iparnya yang sering menyesakkan kuping.
“apa bisanya adikmu yang buta itu? Apa? Merepotkan!”
Suara perempuan muda itu selalu menggelisahkannya.
Ada-ada saja yang diributkannya, tanaman di halaman samping rusak atau terinjak kakinya, kembang sepatu yang baru ditanam perempuan nyinyir itu tersangkut tongkatnya, atau posisi piring dan gelas berubah didapur.
Suara iparnya itu akan terus menari-nari di sekitar telinganya. Bagaimana mungkin perempuan yang konon kata orang-orang di desanya sangat cantik dan santun itu dapat berkata begitu kasar.
Nama perempuan itu Ni Luh Putu Sari. karena dia bukan kaum brahmana, perempuan itu harus mengubah namanya menjadi Jero Melati. Karena perempuan sudra, perempuan kebanyakan itu telah menikah dengan kakaknya dan menjadi keluarga Griya.
Orang – orang diluar hanya tahu bentuk tubuhnya yang konon sangat luar biasa, kulitnya yang sering jadi pujian, pokoknya seluruh tubuh perempuan itu selalu jadi pembicaraan kaum laki-laki.
Aneh sekali Kopag berpikir, bagaimana sesunguhnya sebuah penilaian objektif dalam hubungan antar manusia di bumi ini. Iparnya yang luar biasa kasar dan cerewetnya jadi pujian dan pembicaraan seluruh laki-laki di Griya.
Bagi Kopag, perempuan itu adalah pemain sandiwara ulung. Saat ini dia sangat mengikuti ambisinya untuk memasuki perannya sebagai istri laki-laki dalam lingkungan keluarga brahmana, dia harus menunjukan pada seluruh manusia di desa ini bahwa dirinya berhak masuk dalam lingkungan keluarga bangsawan.
Itu yang dirasakan Kopag, ketika untuk pertama kali iparnya itu menjalarinya. Getaran tangannya sudah seperti tangan-tangan mayat yang membusuk. Kopag juga merasakan setiap mulut perempuan itu terbuka, dia mencium bau darah. Anyir, bau itu seolah – olah berlomba melompat dari bibirnya yang konon sangat mungil, merah, dan sangat pas.
Bahkan Gubreg, parekan, pelayan setia yang merawat Kopag sejak kecil, selalu berkata bahwa beruntunglah kakaknya dapat mendapatkan perempuan tercantik di desa.
“luar biasa kecantikan Jero Melati, Ratu.”
“seperti apa perempuan cantik itu Gubreg? Tolong kau katakan seluruhnya. Aku ingin tahu, aku juga ingin merasakan.”
Laki-laki tua itu terdiam. Dipandangnya mata Kopag dalam-dalam. Ada rasa sakit mengelus dada tuanya.
Ida Bagus Made Kopag memilki tubuh yang sangat bagus, tinggi, dan tangannya juga sangat cekatan memahat patung-patung.
Sejak kecil kakeknya hanya mengajari Kopag bersentuhan dengan kayu-kayu untuk berkenalan dengan kehidupan. Atau sesekali mendatangkan guru untuk mengajarinya membaca huruf braille.
********
“Anak itu buta, Gubreg. Menanggung dosa ayahnya. Pertumbuhannya selalu mengingatkanku pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan anakku. Karmanya jatuh pada anaknya sendiri. Kegelapan itu jadi milik cucuku yang paling abadi.
Aku masih percaya kehidupan itu masih dapat diajak bicara. Kau dapat lihatkan? Kehidupan sendiri memberinya hadiah yang luar biasa. Cucuku memilki seluruh mata manusia yang ada di bumi ini.
Lihat dia mampu membuat patung-patung dengan ukiran sangat sempurna. Jaga dia baik-baik. Anggap dia anakmu!”
Itu pesan Ida Bagus Rai, sebelum berpulang.
******
“Gubreg kau belum menjawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu?
Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin tapi mampu memikatku. Lihat, Gubreg, aku selalu tersentuh. Gubreg aku selalu meluap, apa ini rasa yang dimilki laki-laki? Ini wujud kelakian itu?”
Suara Kopag terdengar pelan.
Hyang Widhi! Penguasa jagat! Kopag memang sudah besar, sudah menjelang 25 tahun. Dia juga rajin membaca buku-buku dengan huruf braille. Atau sesekali dia dikunjungi orang asing dari prancis, Frans kafkasau.
Laki-laki setangah baya itulah yang membuat Gubreg, jengkel! Ada-ada saja yang dibawanya. Kadang-kadang dia bacakan buku-buku bahasa asing, yang di terjemahkannya, tentang Michelangelo, Buonorty, yang konon kata Frans, pematung jaman Renaisans.
Susah. Susah. Sejak bergaul dengan Frans ada saja yang di pertanyakan Kopag padanya.
“jangan bertanya yang aneh-aneh pada titiang, Ratu. Titiang tidak dapat menjelaskan seperti Frans.” suara Gubreg terdengar pelan.
Sampai menjelang tengah malam, Gubreg belum juga dapat menjawab arti menjadi laki-laki. Perasaan apa yang sedang bertarung dalam tubuh Kopag? Gubreg takut.
*******
Pagi-pagi sekali, Kopag sudah membuka jendela studionya.
“Aku ingin bercerita padamu,” suara Kopag terdengar penuh rasa ingin tahu.
“tentang apa lagi Ratu?”
“kecantikan perempuan.”
“titiang...titiang tidak dapat menceritakan kecantikan poerempuan pada Ratu. Semua orang, Ratu, memiliki penilaian khusus tentang hal itu. Perempuan itu.....”
Suara Gubreg trerdengar patah.
Berkali-kali dia menarik nafas. Dia mengerti sangat paham. Dia juga laki-laki, dia juga pernah merasakan seperti apa percikan nafsu itu ketika pertama kali menampar wujud manusianya. Begitu parah, dan teramat menggesahkan ketika tubuhnya mulai lapar dan memerlukan tubuh lain untuk santapan.
Kalau sekarang Kopag bertanya seperti apa kecantikan itu, Gubreg paham. Sesuatu yang dahsyat telah dititipkan alam pada tubuhnya.
Gubreg menatap tajam tubuh Kopag yang sedang merampungkan pahatannya.
“Gubreg, kau belum menjawab pertanyaanku.” Suara Kopag terdengar pelan.
Dia menarik nafas berkali-kali, “Gubreg, kau ingat kata-kata Frans?”
“yang mana?”
“Frans mengatakan keliaranku membentuk tubuh-tubuh manusia dalam kayu mengingatkan dia pada lukisan Pablo Picasso, Guernica.
Pada dasarnya aku selalu penasaran, Gubreg. Kenapa kayu-kayu ini selalu mengajakku berdiskusi, mengajakku bicara, berdialog, dan berpikir. Aku selalu ingin tahu, selalu ingin mengupas dan melukai kayu-kayu itu. Rasa ingin tahu yang begitu besar, sampai menguliti otakku, tanganku, tubuhku. Aku juga ingin tahu setiap impian.
Impian-impian yang dimiliki oleh pohon ketika dia membesarkan ranting-rantingnya, membesarkan tubuhnya, sampai akhirnya potongan-potongan tubuh itu ada di tanganku. Aku juga memiliki impian-impian sendiri pada patahan tubuh pohon itu. Suatu hari Frans dan seorang temannya mengatakan, pahatanku tentang perempuan sangat sempurna. Kata mereka, sangat surealis. Kecantikan perempuan yang ku terjemahkan lewat kayu-kayu itu mengingatkan Frans pada keliaran Martha Graham, yang memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk mewujudkan jati diri tokoh yang dimainkan. Gubreg, aku merasakan kecantikan perempuan itu melalui jari-jariku. Kayu-kayu dan pisau telah memberiku mata yang lain.”
Gubreg tetap diam. Dia mencoba memahami sesuatu yang sangat rahasia dan begitu dalam ingin di sampaikan Kopag, seorang anak yang di besarkan dengan cara-caranya, di ajar memahami kehidupan.
Berkat Kopag, keluarga besar ini kembali dapat hidup. Patung-patung Kopag laku keras dan diminati oleh kolektor dari dalam dan luar negeri. Sekarang keluarga ini tentram. Jero Melati tidak pernah ceriwis, perempuan itu bebas menggunakan uang Kopag semaunya. Bahkan kakak sendiri dapat membuka galeri patung yang besar. Saat ini galeri itu sudah tumbuh besar dan menjadi satu-satunya galeri yang di akui di bali karena karya patung yang masuk harus melalui seleksi dan pertimbangan yang teliti. Bulan kemarin, ada bantuan dana dari jerman dan perancis.
Gubreg tahu tak ada yang di inginkan Kopag. Laki-laki itu tidak pernah tahu apa arti ada uang atau tidak ada uang.  Hanya satu yang di tangkap Gubreg, Kopag memerlukan perempuan.
*******
“kita harus carikan seorang istri untuk Ratu,”
Suara Gubreg terdengar sangat hati-hati. Mendengar komentar itu, Jero Melati tersenyum.
“bagaimana kalo dia kawin dengan calon yang telah ku siapkan.”
“Jero sudah punya calon?”
“Ya. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari.”
“siapa?”
“Adik perempuanku,”jawab perempuan itu serius. Gubreg menatap perempuan itu tajam. Untuk pertama kali dia merasakan hawa jahat berendam dan menguasai tubuh cantik itu.
Benar kata Kopag, perempuan satu ini memang bukan perempuan baik-baik. Otaknya hanya berisi kehormatan.
“kau harus dapat meyakinkan dia bahwa adikku layak menjadi istrinya.” Suara perempuan itu terdengarmirip perintah dan pemaksaan. Gubreg diam. Dia tahu, adik Jero Melati adalah perempuan paling liar dan nakal. Kata orang-orang kampung, adik Jero Melati dapat menjual tubuhnya. Mengerikan! Padahal perempuan itu sangat cantik. Sayang, dia tidak tahan miskin. Padahal kemiskinan kalau di hayati memiliki keindahan tersendiri.
******
“Gubreg. Aku ingin bicara!” kali ini suara Kopag terdengar serius.
Gubreg mencoba memahami kemana kira-kira arah pembicaraan Kopag. Lima menit tanpa hasil Kopag sperti linglung, dia terus mengelilingi studionya.
“Ratu. Ratu ingin apa lagi? Jangan menakuti titiang. Ratu terlihat sangat gelisah.”
“Ya. Aku ingin kawin, Gubreg.” Suara Kopag terdengar sangat serius.
“Maaf Ratu,titiang juga sudah membicarakan dengan Jero dan kakak Ratu.”
“Apa kata mereka?”
“Mereka setuju. Bahkan merekalah yang akan memilihkan calon istriuntuk Ratu.” Gubreg mengangkat wajahnya, ingin sekali dilihatnya wajah Kopag berseri. Aneh! Wajah itu tetap seperti batu.
“Aku sudah memiliki calon. Kali ini pilihanku tidak dapat di ubah!”
“siapa?”
“Luh Srenggi.”
“Ratu...?!” Gubreg seperti tercekik.
Luh Srenggi, apakah kuping tuanya tidak salah dengar? Bukankah Luh Srenggi adalah yang menyiapkan seluruh keperluan Kopag, membersihkan seluruh studionya, menyiapkan makan, dan mengambilkan pisau-pisau pahatnya?
Perempuan itu bukan perempuan, dia lebih mirip mahluk yang mengerikan, kakinya pincang, punggungnya bongkok, ada daging besar tumbuh di atasnya, matanya yang kiri bolong, dia hanya memilki satu mata. Wajahnya juga rusak berat. Kulitnya begitu kasar. Hyang Widhi! Dewa apa yang ada dalam tubuh Kopag. Sadarkah dia, tahukah dia makna kecantikan? Gubreg menarik nafas memegang dadanya kuat-kuat.
“Aku telah menidurkan perempuan itu setiap malam, Gubreg.
Tubuhnya benar-benar lekukan kayu. Kulitnya juga kulit kayu. Kau tahu, ketika ku jatuhkan tubuhku memasuki tubuhnya, aku tenggelam dan habis. Dia adalah perempuan tercantik. Perempuan yang mengalahkan kecantikan kayu-kayu ku....
Ketika dia telanjang, tak ada sebuah pisau pun dapat menandingi ketajamannya. Perempuan itu telah mengasah tubuh laki-lakiku.”
Gubreg ambruk.sebuah pisau pahat menembus dadanya yang tipis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar