Namaku
Pia – kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku, sama saja bukan?
Aku anak perempuan pertama dan satu-satunya yang di lahirkan
Secara normal dari rahim ibuku di hampir 22 tahun
yang lalu. Konon sesaat mamak dukun bayi berhasil membantu kelahiranku ke dunia
dan menyodorkanku dalam gulungan selimut dalam pelukan ibu, wanita itu mengucap
syukur kepada tuhan walaupun kemudian tenggelam dalam tangis.
Berbeda
dengan reaksi ayahku, konon begitu memandang diriku yang tak bertangan ini,
wajahnya memerah serupa duduk di atas bara dan dengan segera ia membalikkan
badan, berjalan pergi sambil membanting pintu rumah kami yang terbuat dari
kayu.
Belakangan
barulah ku tahu gara-gara siapa pintu kami agak somplak ketika hendak ditutup.
Akulah penyebabnya!
Seingatku Ayah yang hanya sesaat saja sempat kusapa sebagai papa itu tidak pernah berniat dengan sengaja menggendongku di pelukannya. Dia hanya mau memangku aku dalam keadaan terpaksa karena ibuku-Mama sedang ke kamar mandi, misalnya.
Itupun
kalau aku bisa diletakkan begitu saja tanpa tangis, maka dengan senang hati
Papa akan menggelindingkanku di atas dipan dengan hanya matanya saja yang
mengawasi.
“Toh
si Pia tak akan mengemut-ngemut jari tangannya!”
Demikian
pikir Papa.
Belakangan
dia baru sadar kalau ternyata kaki ku cukup panjang untuk kugigit-gigit ketika
gusiku gatal.
Seingatku Ayah yang hanya sesaat saja ku sapa sebagai Papa itu tidak pernah mengajakku tertawa, tersenyum, dan apalagi bercakap-cakap denganku. Papa yang bertubuh agak tambun, berkulit gelap, berambut klimis, dan berkumis itu lebih suka mengganggap diriku tidak ada. Di dalam rumah kami yang mungil itu, dia lebih suka hanya bercakap-cakap dengan mama. Aku sampai menduga, mungkin dia lupa juga siapa namaku.
Namaku
Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?
Tubuhku yang agak gemuk berbentuk serupa kotak namun berkaki itu selalu menempel pada Mama. Dengan sabar dia menyusuiku yang tak kunjung mudah kenyang. Mungkin karena banyak minum ASI maka aku kelak menjadi anak yang cukup pintar berhitung sampai 10. Katanya didalam ASI terdapat seluruh kebaikan nutrisi,bukan? Makanya aku tumbuh dengan kecerdasan cukup.
Wanita
bermata besar dan indah itu selalu memandang wajah ku dengan tatapan cinta.
Kalau kamu bertanya seperti apakah tatapan cinta? Sejauh ini cahayanya hanya
pernah ku temui dalam mata Mama. Tak bisa dilukiskan seperti apa. Tak ada warna
crayon yang dapat mewakili keindahannya. Hanya hangatnya yang dapat dirasakan.
Sambil
menggendongku, wanita berambut lurus itu tak pernah berhenti membelaiku. Aku
dapat merasakan betul kehalusan kulit tangannya yang mengusap dan meneduhkan
sampai biasanya aku jatuh tertidur dalam pelukannya. Mama adalah malaikat tanpa
sayap yang memang Tuhan sediakan bagiku.
Hanya tinggal menunggu hitungan tahun saja sampai Papa meninggalkan rumah mungil kami. Selama dua tahun tampaknya Papa terus-menerus mencari tahu mengapa aku dilahirkan tak bertangan. Kadang dengan suara keras Papa menuding Mama kena kutukan, tak jarang di tuduhnya juga mama kurang menjaga kesehatan ketika hamil, lalu kemudian virus ini dan itulah semua dibawa sebagai bahan pertengkaran diantara keduanya.
Biasanya
Mama kemudian akan menempatkan aku di dalam kamar untuk bermain sendiri
sementara dia menyelesaikan diskusi, pembicaraan, debat, atau lebih tepatnya
pertengkaran hebatnya dengan Papa. Mama tak ingin aku mendengar teriakan
–teriakan mereka. Padahal sekalipun masih berusia dua tahun, aku tahu jika
akulah penyebab pertengkaran mereka. Sama seperti pintu rumah kami yang somplak
sejak kelahiranku.
Papa
yang pergi dari rumah, tak pernah terdengar kabarnya lagi. Untungnya rasa sedih
tak sempat ada didalam hatiku karena ketiadannya.
Namaku
Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?
Mama kemudian bekerja menjadi seorang guru berhitung di SD dekat rumah kami. Sambil bekerja tentunya aku dibawa serta, apalagi usiaku mulai mendekati waktu masuknya taman bermain di sekolah yang sama. Mama mengajariku segala hal yang ku perlukan dengan mempergunakan kaki. Sekalipun tak bertangan, kedua kakiku adalah alat yang paling istimewa membantu kehidupanku. Dengannya aku dapat memegang bukan hanya sendok dan garpu, tetapi juga permainan dan buku-buku. Jari-jari kakiku bahkan mampu digerakan dengan sangat lentur. Hal ini memudahkan diriku untuk menjepit sendok dan garpu ketika makan. Ketika aku semakin mahir menggenggam pensil, disaat itu pula aku menemukan kesenangan mewarnai gambar dengan crayon dan semakin meningkat menjadi memulas kanvas dengan kuas cat air. Di usia Sekolah Dasar, aku selalu menjadi juara menulis halus, unggul dalam mewarnai, dan belakangan mendapat penghargaan karena mampu melukis dengan cat air sederhana. Mama merasa bangga sekali pada diriku.
Bagi diriku, kebanggan Mama adalah segalanya. Tak pernah aku berpikir hanya akan mencari prestasi untuk diriku sendiri. Semuanya untuk Mama karena tak pernah sedikit pun ia menunjukan kesusahan hatinya karena memiliki diriku. Malaikat tanpa sayap itu benar-benar di kirimkan Tuhan bagiku.
Namaku
Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?
Oh ya...sejak kecil, Mama selalu membacakan dongeng untukku. Dari semua dongeng putri-putri cantik yang berhasil meraih mimpinya, aku selalu terpaku kepada dongeng Putri Cinderela, si Upik Abu. Kalau belum mengantuk, selalu kuminta Mama mengulang cerita yang sama sampai dua kali. Biasanya sih sebelum sang pangeran menemukan kaki putri yang paling cocok dengan sepatu kacanya untuk putaran kedua, malah Mama yang sudah tertidur duluan.
Dalam
setiap pengantar ceritanya, Mama selalu mengingatkanku.
“Cinderella
bukanlah seorang putri yang hidupnya mudah dan tanpa tantangan Pia! Dia hidup
dengan ibu tiri yang kejam, juga kakak-kakak tiri yang menyebalkan. tapi lihat,
dia berhasil melewati setiap kesulitan dalam hidupnya!”
Aku
hanya mengangguk.
“Cinderela
dalam keadaan susah sekalipun, di sediakan Tuhan teman-teman yang baik di
sekitarnya Pia. Ada tikus, ada kucing, dan bajing, dan banyak lagi. Teman yang
baik adalah justru yang setia sekalipun kita ada dalam kesulitan!”
Aku
hanya mengangguk lagi.
“pada
akhirnya... Cinderella menemukan pangeran impiannya. Rintangannya banyak sekali
loh Pia! Dia mencari kesempatan baik untuk hadir di pesta, hampir saja gagal
karena tak punya baju indah.
Ketika
sudah terpilih oleh pangeran menjadi pasangan dansa, masih juga kebahagiaan itu
berakhir buruk karena sudah jam 12 malam. Kalau kamu lihat, Cinderella tak
pernah menjadi lemah dan kehilangan harapannya. Bagi dirinya, menemukan kasih
sayang yang tulus serta cinta yang sejati adalah api bagi semangat
kehidupannya!”
Aku
kembali menganggukkan kepalaku.
Waktu itu ketika tambahan wejangan Mama di sampaikan di akhir dongeng cinderella, aku masih sukar memahaminya. namun karena di ulang terus-menerus, barulah pesan mama ku pahami.
Harapan
untuk terus di cintai dan di kasihilah yang membuat aku dapat tetap hidup dan
bertahan sampai kapan pun.
Saat itu aku masih memiliki Mama yang memberikan cinta dan kasihnya yang tulus kepadaku.
Jika
hidupku bersama Papa selama dua tahun tak menyisakan cerita indah apapun, maka
sebaliknya, kenangan bersama Mama yang berlangsung 10 tahunlah yang kemudian
mengukir bentuk kehidupanku sampai kepada hari ini.
Malaikat
tak bersayap itu di panggil ke rumah Tuhan di surga setelah terdengar batuk
yang tak henti mengganggu tidur dan terjaganya. Mama terkena kanker paru-paru.
Tanpa banyak mengeluh dia meninggalkan dunia ini dalam hening. Aku tahu
detik-detik keberangkatannya saat pergi, ketika pelukannya di tubuhku yang
semula kencang dan hangat, perlahan melemah dan berubah menjadi dingin.
Dimulailah halaman baru kehidupanku di sebuah tempat bernama Panti Asuhan Sayap Ibu. Salah seorang bude-kakak papaku yang juga merupakan tetangga dekat rumah kami menitipkan diriku kepada ibu Ester-pengelola panti asuhan ini.
Katanya,
Bude tidak berkenan merawat diriku yang berusia 10 tahun ini. Yaa... aku sih
tak bisa menyalahkan dirinya. Papaku saja tak suka menatap diriku, apalagi dia.
Betul, kan?
Di tempat ini dalam waktu singkat aku memiliki teman baru. Di antara kami terbiasa untuk saling menyabut diri sebagai kakak dan adik. Maklum anak-anak sebatang kara berkumpul bersama.
Yang
sulit di hindari adalah tatapan mata mereka ketika memandang sesosok anak
perempuan sepertiku berjalan menyusuri koridor panti.
Aku
menduga di dalam benak mereka berkelibat tarian pertanyaan yang pasti tak jauh
dari rasa penasaran, keraguan, tapi juga ketakutan.
“wah...
anak tak bertangan, bisa apa ya dia?”
“Ih...
aneh sekali, apakah dia sakit dan menular?”
Dan
biasanya pertanyaan ini akan di lanjutkan dengan, “Bagaiman cara kamu makan,
bisakah kamu menulis, sanggupkah kamu membawa barang?”
Maka
selalulah jawaban ku begini:
“Namaku
Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?”
Di sini, aku menyadari jika Tuhan ternyata tetap mengirimkan sesosok malaikat tak bersayap bagi diriku. Ibu Ester. Seorang ibu yang di tinggal mati oleh suaminya dan memilih untuk tinggal dengan kami semua 50 anak yatim dan piatu daripada menetap di kota Jakarta bersama putra dan putrinya yang telah dewasa.
Jika bersama Mama aku di bukakan pintu untuk menemukan diriku sebagai anak perempuan yang pintar matematika dan berhitung, penulis kata dan kalimat dalam bentuk halus dan tertata rapi, serta pelukis yang pandai mencampuradukan warna cat menjadi gambar yang indah, maka bersama ibu Ester, aku menjemput kemampuanku sebagai seorang pemain piano andal.
Dengan
sabar ibu Ester mengajariku bagaimana memainkan piano dalam dentingan nada-nada
yang indah serta merangkainya menjadi lagu yang merdu terdengar.
Bersama
Bu Ester, aku menemukan kembali harapan baru untuk terus bertahan hidup. Kasih,
cinta, dan perhatiannya tulus sekali. Bukan hanya kepadaku, tetapi juga kepada
kami ber-50. Perempuan itu memiliki ruang hati yang cukup luas untuk menampung
segala masalah kami. Aku menduga, masalah dirinya sendiri sering terabaikan
begitu saja, namun Bu Ester tidak pernah memedulikan dirinya sendiri.
Kehidupan
di panti asuhan bukanlah kehidupan yang mudah. Tapi ketika hidup di kelilingi
teman, kakak atau adik (atau apapun itu julukannya) yang menerima mu dengan
tangan terbuka (sekalipun mereka heran dan jijik pada awal perkenalan), kemudian
mau membantu mu ketika kesulitan pelajaran, mengingatkanmu ketika kamu salah
langkah, dan merangkul dirimu ketika sedang merasa sedih, maka apalagi yang
dicari?
Bagi
kami semua, membagi sepotong kue kecil yang nampak enak karena berlapis coklat,
menjadi 50 potong agar setiap anak dapat sekadar mencicipi tanpa perlu merasa
kenyang, sudah menjadi hal biasa.
Memotong
menjadi tiga bahkan empat bagian sabun mandi sumbangan donatur agar kami semua
dapat mandi dengan bersih dan wangi, juga menjadi keseharian.
Menuangkan
satu karton susu 325 ml ke dalam tiga gelas kecil-kecil, agar supaya kami semua
sama-sama mencapai makanan 5 sempurna sekalipun yang 4 belum tentu terpenuhi,
bukan hal yang terlalu aneh.
Jika ada satu kata yang dapat mewakili keberadaan ku di Panti Asuhan Sayap Ibu, maka kata itu adala “BAHAGIA versi 2” setelah BAHAGIA versi 1 bersama Mama di masa hidupnya.
Pesan
Mama yang menempel pada dongeng Cinderella menjadi terngiang kembali selama
berada di Panti Asuhan ini.
“Cinderella
dalam keadaan susah sekalipun, di
sediakan Tuhan teman-teman yang baik disekitarnya, Pia. Ada tikus, ada kucing,
ada bajing, dan banyak lagi. Teman yang baik adalah justru yang setia sekalipun
kita ada dalam kesulitan!”
Selain itu, di luar sana, tak jarang aku harus berjumpa dengan teman-teman sekolah yang melihat sinis kemampuan diriku dalam berabgai hal. Mereka, anak-anak normal itu, sulit menerima jika nilai Matematika ku selalu baik. Mereka juga berat sekali mengakui jika lukisan juga gambarku selalu tampak indah dan memperoleh nilai terbaik dalam pelajaran seni rupa.
Mereka semakin mencibir karena aku terpilih sebagai pemain keyboard di sekolah mengiringi upacara dan juga terkadang misa. Aku pribadi tidak tahu apa salahku dengan tubuh difabel ini, apakah karena aku tak punya tangan lantas aku dilarang berprestasi?
Sepenggal cerita Mama saja yang terus menguatkan diriku.
“Cinderella
bukanlah seorang putri yang hidupnya mudah dan tanpa tantangan Pia! Dia hidup
dengan ibu tiri yang kejam, juga kakak-kakak tiri yang menyebalkan. Tapi lihat,
dia berhasil melewati setiap kesulitan di dalam hidupnya!”
Ternyata di luar zona nyamanku, yaitu rumah dan panti asuhan, aku akan berjumpa dengan banyak sekali jenis ibu tiri berhati keji serta Durnela dan Barbeta berbeda bentuk yang selalu memendam rasa iri hati. Apapun itu, seperti Cinderella, aku bertekad harus berhasil melewati setiap kesulitan hidupku!
Tibalah
kemudian masa akhir SMA dan saatnya berkuliah. Fakultas seni rupa, jurusan
desain grafis menjadi pilihanku. Tadinya tak berani bermimpi akan terus
melanjutkan sampai jenjang kuliah. Namun
pesan Mama tentang jangan pernah putus berharap seringkali bergaung kembali di
telingaku.
Untungnya dalam keadaan apapun, keberuntungan dan harapan baik tak pernah meninggalkan diriku. Aku bukan hanya lolos tes ujian masuk perguruan tinggi, tetapi juga memperoleh beasiswa dan uang saku yang berlaku sepanjang masa perkuliahan ku kelak.
Kenangan
yang paling menoreh di hati ketika Ibu Ester memeluk ku erat-erat di halaman
panti asuhan sayap ibu. Beliau terharu karena aku-Pia si Anak tak bertangan
akan meninggalkannya untuk berkelana menuntut ilmu di tempat lain.
“Ibu
yakin Pia pasti akan bisa menjalankan hidup ini secara mandiri. Teruslah hidup
dalam pengharapan ya, Pia! Kamu punya ibu dan adik-adikmu di sini yang
sungguh-sungguh akan mencintaimu!”
Aku
menganguk, mata ku basah. Ada perasaan sedih melintas, saat merasakan pelukan
Ibu Ester yang menurutku terlalu kuat dan terlalu hangat. Persis seperti
pelukan Mama yang tak terlalu lama berubah melemah dan menjadi dingin.
Benar
saja. Malaikat tak bersayapku yang kedua setelah Mama itu akhirnya pergi
meninggalkan dunia karena sakit yang sesaat saja. Hatiku sedih... rasa
kehilangan itu begitu membuat merana.
Aku
hanya percaya Tuhan pasti akan mengirimkanku sesosok malaikat baru.
Tak dinyana, di kota yang penuh dengan pelajar ini, Tuhan mengirimkanku sosok malaikat berbentuk lelaki berambut gondrong, berwajah ramah, berotak cerdas, dan bermata indah-Reno namanya.
Lelaki
ini menjadi sparing partnerku di kelas. Dia akan memuji hasil karyaku tanpa
basa-basi ketika tugas-tugas kuselesaikan dengan ide cemerlang, namun berbalik
mengkritik pedas jika hasil pemikiranku tertuang dalam bentuk yang kurang
maksimal.
“Jelek
sekali Pia, desain dan warnanya gak nyambung!” teriaknya kesal melihat
kesalahanku menginterpretasikan maksud dosen desain grafis kami ke dalam
rancangan bungkus produk.
“Aku
sudah berusaha Reno, tapi kan memang aku seperti ini. Terbatas!” kadang ketika
kelelahanku mencapai puncaknya karena kurang tidur, menerima kritikan yang
telak dan tanpa basa basi menjadi sukar di terima.
“jangan
pakai alasan enggak punya tangan deh! Alasan basi!” komentar Reno datar sekali.
Bagi dia, tak punya dua tangan sama ringannya dengan tak punya laptop untuk
mendesain. Masalah kecil, karena kreativitas adanya di kepala. Bukan di tangan
atao di laptop!
Dalam
diam. Aku mulai menyukai sikap dirinya yang apa adanya. Reno tak pernah menilai
diriku berbeda dengan dirinya. Dia tak sungkan berjalan sambil merangkul diriku
yang jaketnya di bagian tangan keleweran. Dia membiarkanku membawa tas
selempanganku sendiri. Dia tak risih bersebelahan denganku berjam-jam di studio
untuk berdiskusi dan mendesain bersama tugas-tugas kuliah kami, padahal Reno
kan meletakkan kedua tangannya di atas meja, sementara aku menyimpan kakiku di
sebelahnya. Reno tak peduli. Lelaki itu sungguh sahabatku yang terbaik!
Melewati
tahun perkuliahan yang terus berganti bersama Reno, sungguh tak terasa. Tak
jarang kami ribut dan bertengkar, saling mengkritik dan memeberikan masukan,
namun juga memuji dan menyanjung secara terbuka.
Teman-teman di kampus mulai terbiasa melihat polah kami. Mereka menilai kami pasangan sahabat yang unik. Tak pernah ada yang menduga jika ada api cinta di antara kami. Akupun tak pernah menemukan perasaan itu dalam hatiku kepada Reno selama ini. Mungkin bukan tak ada, tapi ku simpan rapat-rapat. Aku hanya merasa betapa tak pantasnya memendam sebongkah rasa cinta kepada seorang normal seperti Reno.
Kami
hanya bersahabat sangat erat. Seperti persahabatan Cinderella dengan para tikus,
bajing, kucing, dan bahkan buah labu yang di sediakan oleh peri ketika sang upik Abu memang membutuhkan
bantuan.
Berarti
pula setelah masa kuliah ini berlalu, saatnya aku mencari sang pangeran tampan
yang akan mengundang diriku hadir dalam sebuah pesta dansa dan memasangkan
sepatu kaca di kakiku! Untung saja Cinderella bercerita tentang mencocokkan
sepatu kaca. Bagaimana kalau itu cincin atau gelang? Pangeran itu pasti akan
mendiskualifikasiku segera!
Tibalah kami di penghujung perkuliahan. Aku melewati ujian akhir dengan nilai Cum Laude dan Reno menyelesaikan semua tugas akhirnya dengan nilai yang hanya berbeda sedikit saja di bawahku.
“Aku
bangga sekali bersahaba tdengan wanita yang tegar dan kuat seperti dirimu, Pia!”
bisikan Reno di telingaku membuat agak tersentak.
Biasanya
Reno memuji hasil-hasil desain dan kreasiku. Agak jarang dia memuji kekuatan
kepribadianku dengan nada hangat seperti ini.
“Aku
juga bersyukur sekali bisa berteman dengan kamu kok, Reno! Terimakasih ya sudah
menjadi sahabat yang menerima diriku apa adanya!” jawabku dengan tawa yang
lebar.
Hari
wisuda merupakan hari yang kami nantikan, pengesahan berakhirnya masa belajar
kami di tempat ini. Saatnya menjemput masa depan yang akan di mulai esok hari!
Malam itu dalam acara ramah tamah angkatan kami, Reno tak kunjung beranjak dari sisiku. Di mulai sejak aku datang ke ruang acara, memainkan beberapa lagu di piano dengan kaki-kakiku, dan kemudian duduk bersama teman-teman kuliah kami, Reno terus ada di sana.
Dengan
serius pada akhirnya dia bertanya, “Kamu yakin bisa hidup tanpa diriku mulai
esok hari, Pia?”
Aku
memandang lelaki itu, tatapannya kulihat agak berbeda, entah apa yang ada di
sana. Aku menduga itu rasa khawatir jika terjadi sesuatu denganku tanpa
kehadirannya.
“Ya
ampun Reno, masih saja kamu ke-GR-an kalau aku tak bisa hidup tanpa kamu?” aku
balik bertanya.
“Aku
serius Pia! Kalaupun kamu bisa hidup tanpa aku, sepertinya malah aku yang akan
sangat sukar untuk hidup kalu enggak ada kamu !” demikian dia terdiam di akhir
kalimat. Aku juga terdiam. Kalau serupa petir maka kalimat itu seharusnya
bunyinya pasti menggelegar. Mengagetkan tapi di dalam diam.
“maksud
kamu?” aku yang jadi tergagap bertanya. Lebih serius.
“kamu
bilang jika Mama mu dan Ibu Ester mengajarkan mu untuk bertahan dan berjuang
karena adanya binar harapan untuk selalu di cintai dan di kasihi dengan tulus!”
Reno membuka alasannya.
“Aku
yakinkan kamu, Pia, kalau akulah orang yang berjanji akan selalu memberikan
kedua hal itu buat kamu setelah Mama dan Ibu Ester. Cinta dan kasih yang
tulus!” Reno menatap mataku.
Barulah ku sadari rasa hangat yang sama itu menjalar kuat,. Tatapan cinta Mama, pandangan cinta Ibu Ester dan sekarang Reno memberikan rasa ketulusan yang sama di dalam hati.
“Aku...
ehm.. aku...,” aku tidak bisa menjawab apapun.
“Aku
enggak mungkinlah jadi pangeran tukang dansa seperti dalam dongeng Cinderella
yang mengilhami dirimu siang dan malam. Aku juga enggak bawa sepatu kaca buat
dipas-kan di kakimu. Tapi percaya deh, aku adalah pangeran yang akan terus ada
di samping kamu!” Reno kembali mencoba meyakinkan diriku, tangannya memeluk
pundakku. Aku menduga kalau saja aku punya tangan, pasti jari-jariku akan di
remasnya.
Akhirnya
aku mengangguk dan menyerah.
Pangeran impian Cinderella ternyata tak mesti berwajah tampan serupa pualam yang pandai berdansa. Dia cukup berambut gondrong agak kribo, berwajah ramah dan selalu senyum, serta menyimpan guratan cinta itu di matanya, khusus bagiku seorang. Sang Cinderella tanpa lengan.
Oh ya, hampir lupa... tentang Papa di dalam hidupku. Beliau adalah mahluk yang di kirimkan Tuhan bagiku agar seumur usiaku, sejak kudilahirkan sampai dengan kepergiannya meninggalkan rumah, dan sampai hari ini, aku terus belajar bersyukur di dalam rasa kesesakan.
Sikapnya,
ketidaksukaannya pada diriku, ketidakhadirannya ketika kuperlu menjadi
batu-batu ujian hati agar aku mampu memaafkan orang yang tak pernah
menyayangiku.
Tetap
indah bukan?
Namaku
Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang
sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar