Sabtu, 20 Februari 2016

Cerpen 3 : Harapan karena Cinta dan Kasih



Namaku Pia – kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku, sama saja bukan?

Aku anak perempuan pertama dan satu-satunya yang di lahirkan
Secara  normal dari rahim ibuku di hampir 22 tahun yang lalu. Konon sesaat mamak dukun bayi berhasil membantu kelahiranku ke dunia dan menyodorkanku dalam gulungan selimut dalam pelukan ibu, wanita itu mengucap syukur kepada tuhan walaupun kemudian tenggelam dalam tangis.
Berbeda dengan reaksi ayahku, konon begitu memandang diriku yang tak bertangan ini, wajahnya memerah serupa duduk di atas bara dan dengan segera ia membalikkan badan, berjalan pergi sambil membanting pintu rumah kami yang terbuat dari kayu.
Belakangan barulah ku tahu gara-gara siapa pintu kami agak somplak ketika hendak ditutup. Akulah penyebabnya!

Seingatku Ayah yang hanya sesaat saja sempat kusapa sebagai papa itu tidak pernah berniat dengan sengaja menggendongku di pelukannya. Dia hanya mau memangku aku dalam keadaan terpaksa karena ibuku-Mama sedang ke kamar mandi, misalnya.
Itupun kalau aku bisa diletakkan begitu saja tanpa tangis, maka dengan senang hati Papa akan menggelindingkanku di atas dipan dengan hanya matanya saja yang mengawasi.
“Toh si Pia tak akan mengemut-ngemut jari tangannya!”
Demikian pikir Papa.
Belakangan dia baru sadar kalau ternyata kaki ku cukup panjang untuk kugigit-gigit ketika gusiku gatal.

Seingatku Ayah yang hanya sesaat saja ku sapa sebagai Papa itu tidak pernah mengajakku tertawa, tersenyum, dan apalagi bercakap-cakap denganku. Papa yang bertubuh agak tambun, berkulit gelap, berambut klimis, dan berkumis itu lebih suka mengganggap diriku tidak ada. Di dalam rumah kami yang mungil itu, dia lebih suka hanya bercakap-cakap dengan mama. Aku sampai menduga, mungkin dia lupa juga siapa namaku.
Namaku Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?

Tubuhku yang agak gemuk berbentuk serupa kotak namun berkaki itu selalu menempel pada Mama. Dengan sabar dia menyusuiku yang tak kunjung mudah kenyang. Mungkin karena banyak minum ASI maka aku kelak menjadi anak yang cukup pintar berhitung sampai 10. Katanya didalam ASI terdapat seluruh kebaikan nutrisi,bukan? Makanya aku tumbuh dengan kecerdasan cukup.
Wanita bermata besar dan indah itu selalu memandang wajah ku dengan tatapan cinta. Kalau kamu bertanya seperti apakah tatapan cinta? Sejauh ini cahayanya hanya pernah ku temui dalam mata Mama. Tak bisa dilukiskan seperti apa. Tak ada warna crayon yang dapat mewakili keindahannya. Hanya hangatnya yang dapat dirasakan.
Sambil menggendongku, wanita berambut lurus itu tak pernah berhenti membelaiku. Aku dapat merasakan betul kehalusan kulit tangannya yang mengusap dan meneduhkan sampai biasanya aku jatuh tertidur dalam pelukannya. Mama adalah malaikat tanpa sayap yang memang Tuhan sediakan bagiku.

Hanya tinggal menunggu hitungan tahun saja sampai Papa meninggalkan rumah mungil kami. Selama dua tahun tampaknya Papa terus-menerus mencari tahu mengapa aku dilahirkan tak bertangan. Kadang dengan suara keras Papa menuding Mama kena kutukan, tak jarang di tuduhnya juga mama kurang menjaga kesehatan ketika hamil, lalu kemudian virus ini dan itulah semua dibawa sebagai bahan pertengkaran diantara keduanya.
Biasanya Mama kemudian akan menempatkan aku di dalam kamar untuk bermain sendiri sementara dia menyelesaikan diskusi, pembicaraan, debat, atau lebih tepatnya pertengkaran hebatnya dengan Papa. Mama tak ingin aku mendengar teriakan –teriakan mereka. Padahal sekalipun masih berusia dua tahun, aku tahu jika akulah penyebab pertengkaran mereka. Sama seperti pintu rumah kami yang somplak sejak kelahiranku.
Papa yang pergi dari rumah, tak pernah terdengar kabarnya lagi. Untungnya rasa sedih tak sempat ada didalam hatiku karena ketiadannya.
Namaku Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?


Mama kemudian bekerja menjadi seorang guru berhitung di SD dekat rumah kami. Sambil bekerja tentunya aku dibawa serta, apalagi usiaku mulai mendekati waktu masuknya taman bermain di sekolah yang sama. Mama mengajariku segala hal yang ku perlukan dengan mempergunakan kaki. Sekalipun tak bertangan, kedua kakiku adalah alat yang paling istimewa membantu kehidupanku. Dengannya aku dapat memegang bukan hanya sendok dan garpu, tetapi juga permainan dan buku-buku. Jari-jari kakiku bahkan mampu digerakan dengan sangat lentur. Hal ini memudahkan diriku untuk menjepit sendok dan garpu ketika makan. Ketika aku semakin mahir menggenggam pensil, disaat itu pula aku menemukan kesenangan mewarnai gambar dengan crayon dan semakin meningkat menjadi memulas kanvas dengan kuas cat air. Di usia Sekolah Dasar, aku selalu menjadi juara menulis halus, unggul dalam mewarnai, dan belakangan mendapat penghargaan karena mampu melukis dengan cat air sederhana. Mama merasa bangga sekali pada diriku.

Bagi diriku, kebanggan Mama adalah segalanya. Tak pernah aku berpikir hanya akan mencari prestasi untuk diriku sendiri. Semuanya untuk Mama karena tak pernah sedikit pun ia menunjukan kesusahan hatinya karena memiliki diriku. Malaikat tanpa sayap itu benar-benar di kirimkan Tuhan bagiku.
Namaku Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?

Oh ya...sejak kecil, Mama selalu membacakan dongeng untukku. Dari semua dongeng putri-putri cantik yang berhasil meraih mimpinya, aku selalu terpaku kepada dongeng Putri Cinderela, si Upik Abu. Kalau belum mengantuk, selalu kuminta Mama mengulang cerita yang sama sampai dua kali. Biasanya sih sebelum sang pangeran menemukan kaki putri yang paling cocok dengan sepatu kacanya untuk putaran kedua, malah Mama yang sudah tertidur duluan.
Dalam setiap pengantar ceritanya, Mama selalu mengingatkanku.
“Cinderella bukanlah seorang putri yang hidupnya mudah dan tanpa tantangan Pia! Dia hidup dengan ibu tiri yang kejam, juga kakak-kakak tiri yang menyebalkan. tapi lihat, dia berhasil melewati setiap kesulitan dalam hidupnya!”
Aku hanya mengangguk.
“Cinderela dalam keadaan susah sekalipun, di sediakan Tuhan teman-teman yang baik di sekitarnya Pia. Ada tikus, ada kucing, dan bajing, dan banyak lagi. Teman yang baik adalah justru yang setia sekalipun kita ada dalam kesulitan!”
Aku hanya mengangguk lagi.
“pada akhirnya... Cinderella menemukan pangeran impiannya. Rintangannya banyak sekali loh Pia! Dia mencari kesempatan baik untuk hadir di pesta, hampir saja gagal karena tak punya baju indah.
Ketika sudah terpilih oleh pangeran menjadi pasangan dansa, masih juga kebahagiaan itu berakhir buruk karena sudah jam 12 malam. Kalau kamu lihat, Cinderella tak pernah menjadi lemah dan kehilangan harapannya. Bagi dirinya, menemukan kasih sayang yang tulus serta cinta yang sejati adalah api bagi semangat kehidupannya!”
Aku kembali menganggukkan kepalaku.

Waktu itu ketika tambahan wejangan Mama di sampaikan di akhir dongeng cinderella, aku masih sukar memahaminya. namun karena di ulang terus-menerus, barulah pesan mama ku pahami.
Harapan untuk terus di cintai dan di kasihilah yang membuat aku dapat tetap hidup dan bertahan sampai kapan pun.

Saat itu aku masih memiliki Mama yang memberikan cinta dan kasihnya yang tulus kepadaku.
Jika hidupku bersama Papa selama dua tahun tak menyisakan cerita indah apapun, maka sebaliknya, kenangan bersama Mama yang berlangsung 10 tahunlah yang kemudian mengukir bentuk kehidupanku sampai kepada hari ini.
Malaikat tak bersayap itu di panggil ke rumah Tuhan di surga setelah terdengar batuk yang tak henti mengganggu tidur dan terjaganya. Mama terkena kanker paru-paru. Tanpa banyak mengeluh dia meninggalkan dunia ini dalam hening. Aku tahu detik-detik keberangkatannya saat pergi, ketika pelukannya di tubuhku yang semula kencang dan hangat, perlahan melemah dan berubah menjadi dingin.

Dimulailah halaman baru kehidupanku di sebuah tempat bernama Panti Asuhan Sayap Ibu. Salah seorang bude-kakak papaku yang juga merupakan tetangga dekat rumah kami menitipkan diriku kepada ibu Ester-pengelola panti asuhan ini.
Katanya, Bude tidak berkenan merawat diriku yang berusia 10 tahun ini. Yaa... aku sih tak bisa menyalahkan dirinya. Papaku saja tak suka menatap diriku, apalagi dia. Betul, kan?

Di tempat ini dalam waktu singkat aku memiliki teman baru. Di antara kami terbiasa untuk saling menyabut diri sebagai kakak dan adik. Maklum anak-anak sebatang kara berkumpul bersama.
Yang sulit di hindari adalah tatapan mata mereka ketika memandang sesosok anak perempuan sepertiku berjalan menyusuri koridor panti.
Aku menduga di dalam benak mereka berkelibat tarian pertanyaan yang pasti tak jauh dari rasa penasaran, keraguan, tapi juga ketakutan.
“wah... anak tak bertangan, bisa apa ya dia?”
“Ih... aneh sekali, apakah dia sakit dan menular?”
Dan biasanya pertanyaan ini akan di lanjutkan dengan, “Bagaiman cara kamu makan, bisakah kamu menulis, sanggupkah kamu membawa barang?”
Maka selalulah jawaban ku begini:
“Namaku Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?”

Di sini, aku menyadari jika Tuhan ternyata tetap mengirimkan sesosok malaikat tak bersayap bagi diriku. Ibu Ester. Seorang ibu yang di tinggal mati oleh suaminya dan memilih untuk tinggal dengan kami semua 50 anak yatim dan piatu daripada menetap di kota Jakarta bersama putra dan putrinya yang telah dewasa.

Jika bersama Mama aku di bukakan pintu untuk menemukan diriku sebagai anak perempuan yang pintar matematika dan berhitung, penulis kata dan kalimat dalam bentuk halus dan tertata rapi, serta pelukis yang pandai mencampuradukan warna cat menjadi gambar yang indah, maka bersama ibu Ester, aku menjemput kemampuanku sebagai seorang pemain piano andal.
Dengan sabar ibu Ester mengajariku bagaimana memainkan piano dalam dentingan nada-nada yang indah serta merangkainya menjadi lagu yang merdu terdengar.
Bersama Bu Ester, aku menemukan kembali harapan baru untuk terus bertahan hidup. Kasih, cinta, dan perhatiannya tulus sekali. Bukan hanya kepadaku, tetapi juga kepada kami ber-50. Perempuan itu memiliki ruang hati yang cukup luas untuk menampung segala masalah kami. Aku menduga, masalah dirinya sendiri sering terabaikan begitu saja, namun Bu Ester tidak pernah memedulikan dirinya sendiri.
Kehidupan di panti asuhan bukanlah kehidupan yang mudah. Tapi ketika hidup di kelilingi teman, kakak atau adik (atau apapun itu julukannya) yang menerima mu dengan tangan terbuka (sekalipun mereka heran dan jijik pada awal perkenalan), kemudian mau membantu mu ketika kesulitan pelajaran, mengingatkanmu ketika kamu salah langkah, dan merangkul dirimu ketika sedang merasa sedih, maka apalagi yang dicari?
Bagi kami semua, membagi sepotong kue kecil yang nampak enak karena berlapis coklat, menjadi 50 potong agar setiap anak dapat sekadar mencicipi tanpa perlu merasa kenyang, sudah menjadi hal biasa.
Memotong menjadi tiga bahkan empat bagian sabun mandi sumbangan donatur agar kami semua dapat mandi dengan bersih dan wangi, juga menjadi keseharian.
Menuangkan satu karton susu 325 ml ke dalam tiga gelas kecil-kecil, agar supaya kami semua sama-sama mencapai makanan 5 sempurna sekalipun yang 4 belum tentu terpenuhi, bukan hal yang terlalu aneh.

Jika ada satu kata yang dapat mewakili keberadaan ku di Panti Asuhan Sayap Ibu, maka kata itu adala “BAHAGIA versi 2” setelah BAHAGIA versi 1 bersama Mama di masa hidupnya.
Pesan Mama yang menempel pada dongeng Cinderella menjadi terngiang kembali selama berada di Panti Asuhan ini.
“Cinderella dalam keadaan  susah sekalipun, di sediakan Tuhan teman-teman yang baik disekitarnya, Pia. Ada tikus, ada kucing, ada bajing, dan banyak lagi. Teman yang baik adalah justru yang setia sekalipun kita ada dalam kesulitan!”

Selain itu, di luar sana, tak jarang aku harus berjumpa dengan teman-teman sekolah yang melihat sinis kemampuan diriku dalam berabgai hal. Mereka, anak-anak normal itu, sulit menerima jika nilai Matematika ku selalu baik. Mereka juga berat sekali mengakui jika lukisan juga gambarku selalu tampak indah dan memperoleh nilai terbaik dalam pelajaran seni rupa.

Mereka semakin mencibir karena aku terpilih sebagai pemain keyboard di sekolah mengiringi upacara dan juga terkadang misa. Aku pribadi tidak tahu apa salahku dengan tubuh difabel ini, apakah karena aku tak punya tangan lantas aku dilarang berprestasi?

Sepenggal cerita Mama saja yang terus menguatkan diriku.
“Cinderella bukanlah seorang putri yang hidupnya mudah dan tanpa tantangan Pia! Dia hidup dengan ibu tiri yang kejam, juga kakak-kakak tiri yang menyebalkan. Tapi lihat, dia berhasil melewati setiap kesulitan di dalam hidupnya!”

Ternyata di luar zona nyamanku, yaitu rumah dan panti asuhan, aku akan berjumpa dengan banyak sekali jenis ibu tiri berhati keji serta  Durnela dan Barbeta berbeda bentuk yang selalu memendam rasa iri hati. Apapun itu, seperti Cinderella, aku bertekad harus berhasil melewati setiap kesulitan hidupku!
Tibalah kemudian masa akhir SMA dan saatnya berkuliah. Fakultas seni rupa, jurusan desain grafis menjadi pilihanku. Tadinya tak berani bermimpi akan terus melanjutkan sampai jenjang kuliah.  Namun pesan Mama tentang jangan pernah putus berharap seringkali bergaung kembali di telingaku.

Untungnya dalam keadaan apapun, keberuntungan dan harapan baik tak pernah meninggalkan diriku. Aku bukan hanya lolos tes ujian masuk perguruan tinggi, tetapi juga memperoleh beasiswa dan uang saku yang berlaku sepanjang masa perkuliahan ku kelak.
Kenangan yang paling menoreh di hati ketika Ibu Ester memeluk ku erat-erat di halaman panti asuhan sayap ibu. Beliau terharu karena aku-Pia si Anak tak bertangan akan meninggalkannya untuk berkelana menuntut ilmu di tempat lain.
“Ibu yakin Pia pasti akan bisa menjalankan hidup ini secara mandiri. Teruslah hidup dalam pengharapan ya, Pia! Kamu punya ibu dan adik-adikmu di sini yang sungguh-sungguh akan mencintaimu!”
Aku menganguk, mata ku basah. Ada perasaan sedih melintas, saat merasakan pelukan Ibu Ester yang menurutku terlalu kuat dan terlalu hangat. Persis seperti pelukan Mama yang tak terlalu lama berubah melemah dan menjadi dingin.
Benar saja. Malaikat tak bersayapku yang kedua setelah Mama itu akhirnya pergi meninggalkan dunia karena sakit yang sesaat saja. Hatiku sedih... rasa kehilangan itu begitu membuat merana.
Aku hanya percaya Tuhan pasti akan mengirimkanku sesosok malaikat baru.

Tak dinyana, di kota yang penuh dengan pelajar ini, Tuhan mengirimkanku sosok malaikat berbentuk lelaki berambut gondrong, berwajah ramah, berotak cerdas, dan bermata indah-Reno namanya.
Lelaki ini menjadi sparing partnerku di kelas. Dia akan memuji hasil karyaku tanpa basa-basi ketika tugas-tugas kuselesaikan dengan ide cemerlang, namun berbalik mengkritik pedas jika hasil pemikiranku tertuang dalam bentuk yang kurang maksimal.
“Jelek sekali Pia, desain dan warnanya gak nyambung!” teriaknya kesal melihat kesalahanku menginterpretasikan maksud dosen desain grafis kami ke dalam rancangan bungkus produk.
“Aku sudah berusaha Reno, tapi kan memang aku seperti ini. Terbatas!” kadang ketika kelelahanku mencapai puncaknya karena kurang tidur, menerima kritikan yang telak dan tanpa basa basi menjadi sukar di terima.
“jangan pakai alasan enggak punya tangan deh! Alasan basi!” komentar Reno datar sekali. Bagi dia, tak punya dua tangan sama ringannya dengan tak punya laptop untuk mendesain. Masalah kecil, karena kreativitas adanya di kepala. Bukan di tangan atao di laptop!
Dalam diam. Aku mulai menyukai sikap dirinya yang apa adanya. Reno tak pernah menilai diriku berbeda dengan dirinya. Dia tak sungkan berjalan sambil merangkul diriku yang jaketnya di bagian tangan keleweran. Dia membiarkanku membawa tas selempanganku sendiri. Dia tak risih bersebelahan denganku berjam-jam di studio untuk berdiskusi dan mendesain bersama tugas-tugas kuliah kami, padahal Reno kan meletakkan kedua tangannya di atas meja, sementara aku menyimpan kakiku di sebelahnya. Reno tak peduli. Lelaki itu sungguh sahabatku yang terbaik!
Melewati tahun perkuliahan yang terus berganti bersama Reno, sungguh tak terasa. Tak jarang kami ribut dan bertengkar, saling mengkritik dan memeberikan masukan, namun juga memuji dan menyanjung secara terbuka.

Teman-teman di kampus mulai terbiasa melihat polah kami. Mereka menilai kami pasangan sahabat yang unik. Tak pernah ada yang menduga jika ada api cinta di antara kami. Akupun tak pernah menemukan perasaan itu dalam hatiku kepada Reno selama ini. Mungkin bukan tak ada, tapi ku simpan rapat-rapat. Aku hanya merasa betapa tak pantasnya memendam sebongkah rasa cinta kepada seorang normal seperti Reno.
Kami hanya bersahabat sangat erat. Seperti persahabatan Cinderella dengan para tikus, bajing, kucing, dan bahkan buah labu yang di sediakan oleh peri  ketika sang upik Abu memang membutuhkan bantuan.
Berarti pula setelah masa kuliah ini berlalu, saatnya aku mencari sang pangeran tampan yang akan mengundang diriku hadir dalam sebuah pesta dansa dan memasangkan sepatu kaca di kakiku! Untung saja Cinderella bercerita tentang mencocokkan sepatu kaca. Bagaimana kalau itu cincin atau gelang? Pangeran itu pasti akan mendiskualifikasiku segera!

Tibalah kami di penghujung perkuliahan. Aku melewati ujian akhir dengan nilai Cum Laude dan Reno menyelesaikan semua tugas akhirnya dengan nilai yang hanya berbeda sedikit saja di bawahku.
“Aku bangga sekali bersahaba tdengan wanita yang tegar dan kuat seperti dirimu, Pia!” bisikan Reno di telingaku membuat agak tersentak.
Biasanya Reno memuji hasil-hasil desain dan kreasiku. Agak jarang dia memuji kekuatan kepribadianku dengan nada hangat seperti ini.
“Aku juga bersyukur sekali bisa berteman dengan kamu kok, Reno! Terimakasih ya sudah menjadi sahabat yang menerima diriku apa adanya!” jawabku dengan tawa yang lebar.
Hari wisuda merupakan hari yang kami nantikan, pengesahan berakhirnya masa belajar kami di tempat ini. Saatnya menjemput masa depan yang akan di mulai esok hari!

Malam itu dalam acara ramah tamah angkatan kami, Reno tak kunjung beranjak dari sisiku. Di mulai sejak aku datang ke ruang acara, memainkan beberapa lagu di piano dengan kaki-kakiku, dan kemudian duduk bersama teman-teman kuliah kami, Reno terus ada di sana.
Dengan serius pada akhirnya dia bertanya, “Kamu yakin bisa hidup tanpa diriku mulai esok hari, Pia?”
Aku memandang lelaki itu, tatapannya kulihat agak berbeda, entah apa yang ada di sana. Aku menduga itu rasa khawatir jika terjadi sesuatu denganku tanpa kehadirannya.
“Ya ampun Reno, masih saja kamu ke-GR-an kalau aku tak bisa hidup tanpa kamu?” aku balik bertanya.
“Aku serius Pia! Kalaupun kamu bisa hidup tanpa aku, sepertinya malah aku yang akan sangat sukar untuk hidup kalu enggak ada kamu !” demikian dia terdiam di akhir kalimat. Aku juga terdiam. Kalau serupa petir maka kalimat itu seharusnya bunyinya pasti menggelegar. Mengagetkan tapi di dalam diam.
“maksud kamu?” aku yang jadi tergagap bertanya. Lebih serius.
“kamu bilang jika Mama mu dan Ibu Ester mengajarkan mu untuk bertahan dan berjuang karena adanya binar harapan untuk selalu di cintai dan di kasihi dengan tulus!” Reno membuka alasannya.
“Aku yakinkan kamu, Pia, kalau akulah orang yang berjanji akan selalu memberikan kedua hal itu buat kamu setelah Mama dan Ibu Ester. Cinta dan kasih yang tulus!” Reno menatap mataku.

Barulah ku sadari rasa hangat yang sama itu menjalar kuat,. Tatapan cinta Mama, pandangan cinta Ibu Ester dan sekarang Reno memberikan rasa ketulusan yang sama di dalam hati.
“Aku... ehm.. aku...,” aku tidak bisa menjawab apapun.
“Aku enggak mungkinlah jadi pangeran tukang dansa seperti dalam dongeng Cinderella yang mengilhami dirimu siang dan malam. Aku juga enggak bawa sepatu kaca buat dipas-kan di kakimu. Tapi percaya deh, aku adalah pangeran yang akan terus ada di samping kamu!” Reno kembali mencoba meyakinkan diriku, tangannya memeluk pundakku. Aku menduga kalau saja aku punya tangan, pasti jari-jariku akan di remasnya.
Akhirnya aku mengangguk dan menyerah.

Pangeran impian Cinderella ternyata tak mesti berwajah tampan serupa pualam yang pandai berdansa. Dia cukup berambut gondrong agak kribo, berwajah ramah dan selalu senyum, serta menyimpan guratan cinta itu di matanya, khusus bagiku seorang. Sang Cinderella tanpa lengan.

Oh ya, hampir lupa... tentang Papa di dalam hidupku. Beliau adalah mahluk yang di kirimkan Tuhan bagiku agar seumur usiaku, sejak kudilahirkan sampai dengan kepergiannya meninggalkan rumah, dan sampai hari ini, aku terus belajar bersyukur di dalam rasa kesesakan.
Sikapnya, ketidaksukaannya pada diriku, ketidakhadirannya ketika kuperlu menjadi batu-batu ujian hati agar aku mampu memaafkan orang yang tak pernah menyayangiku.
Tetap indah bukan?
Namaku Pia-kalau kamu punya dua kaki dan dua tangan, maka aku punya dua kaki yang sekaligus menjadi tanganku. Sama saja bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar