Sabtu, 28 November 2015

cerpen 1



Sebuah cerita sedih, gempa waktu, dan omong kosong yang harus ada




“Halo, dimana?” kau menerima panggilan diponsel mu dan memulai percakapan dengan suara berat, sangat berat.

“Heh, kalau ku usir dari rumah, tanggung sendiri risikonya!” barangkali telepon itu dari istri atau kekasih mu yang kau ajak tinggal serumah dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari cara mu bicara,terasa ada kejengahan yang nyaris meledak, “kok nggak jawab?”

Mungkin kau melarangnya keluar rumah malam ini. Tapi, ah, perempuan.... Dengan kemampuan tertentu, seekor harimau bisa di jadikan  penurut seperti kucing peliharaan. Sejarah mencatat tentang terlalu banyaknya lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan. John Dilinger dan Arthur Schopenhaeur contohnya.

“kamu mau main-main sama aku ya?”

“oke, tanggung sendiri ya resikonya kalau ku usir!”

Oh,adakah yang lebih mengenal tabiat Adam selain Eva? Bukankah dia, yang tuhan lengkapi dengan perangkat bernama daya pikat sebagai ganti ketulusan, yang membujuk Adam untuk melakukan dosa pertama? Maka apalah yang bisa kau lakukan selepas pertengkaran ini, kecuali menerima permintaan maaf yang sebetulnya amat terlambat, mencium kening istri atau kekasih mu itu, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, lalu berharap yang baru saja di lewati itu sebagai penderitaan mu yang terakhir. Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir kau tahu itu.

Pukul dua belas malam lewat sedikit, kau berada di sebuah swalayan24 jam untuk membeli minuman kaleng, rokok, dan air mineral. Aku tahu karena kau berdiri tepat di sebelah ku sambil menenteng belanjaan mu. Soal rokok, tentu ku dengar jelas ketika kau memesannya: Djarum Super sebungkus, Sampoerna Mild dua. Dan aku lah alasan kau harus berlama-lama di swalayan itu. Aku juga lah yang harus membuat mu bertengkar dalam suara yang dipelankan.
Tapi kau tak mungkin membenci ku. Kita, Lelaki, punya aturan –tak- tertulis untuk tidak mempedulikan satu sama lain, bukan? 
Omong-omong apa yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam? Menurut ku, yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam adalah, sistem kerja mereka yang benar-benar 24 jam. Di planet ini, keseluruhan waktu, sehari-semalam adalah 24 jam pas. Tidak lebih, tidak kurang.

Lalu bagaimana caranya swalayan yang menghabiskan semua cadangan waktu itu untuk berjualan sempat mengurusi rekap transaksi (serta macam-macam urusan lain di luar jual-beli yang melibatkan komputer kasir dan printer nota) yang terjadi dalam rentang waktu tersebut? 

Mereka punya solusi brilian: semuanya akan di kerjakan selepas jam dua belas malam. Maka bersabarlah, hai orang-orang yang mengunjungi swalayan 24 jam saat-saat tersebut.
Jika kau lapar, ingin buang hajat, mengantuk, bertengkar dengan pasangan, terancam serangan godzila, atau apa pun urusannya, mohon tunggu sejenak.
Yang membayar dengan uang mesti menunggu hitung-hitungan kalkulator, yang menggunakan kartu harus menunggu system error di bereskan, betapa pun lamanya sulit di kira-kira. Itulah yang terjadi. 
Malam itu aku menggunakan kartu ATM untuk membeli rokok, air mineral, telur ayam, dan mi instan karena di dompet ku tidak ada uang sama sekali.
Dan sementara aku menunggu system error hilang dengan sendirinya seperti penyakit pilek, kau di wajibkan mengantre. Kemudian ponsel mu berdering.

Kau bertengkar dengan seseorang di ujung sana dalam suara berat yang di tahan.

Demikianlah cerita mu plus omong kosong ku sebelum gempa waktu terjadi.

Gempa waktu adalah penjelasan paling masuk akal mengenai De Javu. Menurut Ramyun McClub, fisikawan kurang terkenal yang menjelaskan fenomena gempa waktu jauh sebelum Kilgore Trout menulis Sepuluh Tahun Saya Di Bawah Kendali Otomatis, gempa waktu adalah kerusakan mendadak dalam kontinuum ruang-waktu yang mengakibatkan segala sesuatu di dunia ini bertindak persis seperti yang sebelumnya terjadi dalam jangka waktu tertentu, untuk kedua kalinya, tanpa keterlibatan kehendak bebas sama sekali.

Malam itu, dua detik selepas aku meninggalkan pintu swalayan, gempa waktu menggulung alam semesta ke tiga hari sebelumnya. Maka segala sesuatu di dunia ini pun mengulang semuanya, sampai ke tiga hari tersebut terlewati dan kita kembali ke titik dimana ia terjadi. Penanda selesainya gampa waktu adalah De Javu sebuah perasaan aneh yang membuat kita ingin berkata: saya pernah mengalami ini sebelumnya. Tentu saja ada pertanyaan semacam “saya mengalami De Javu, tapi kok orang di sebelah saya tidak?” Ramyun McClub sudah menjelaskan hal ini di dalam bukunya, Goncangan-Goncangan Ruang-Waktu Dan Penjelasan Tentangnya Yang Sukar Di Mengerti, yang sudah berhenti di cetak ulang.

Gempa waktu memang melibatkan semua orang pada saat bersamaan, tetapi De Javu tidak De Javu hanya akan di alami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik jeda antara kendali otomatis dengan kehendak bebas. “paling banyak hanya 3,5% manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami De Javu pada saat bersamaan,” tulis McClub di halaman 56.

Setelah gempa waktu tersebut secara kebetulan otak ku merespon jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas. Maka ku tunggu kau di luar dari pintu swalayan. Kemudian :

“maaf, apa barusan anda mengalami De Javu?”

Tentu saja reaksi pertama mu adalah memandang ku dengan tatapan aneh. Atau tepatnya, tatapan untuk di arahkan kepada orang aneh. 
Di luar fiksi tak masuk akal karangan Kilgore Trout dan penulis ngawur lainnya, tak seorang pun mau di ajak bicara oleh orang asing berjenis kelamin sama, pada tengah malam, lebih-lebih bila juntrungnya mencurigakan, hanya karena rasa penasaran semata. Kecuali jika nalarnya sedang tidak beres. Dan malam itu pikiran mu memang kurang beres. Kelewat penuh. 
Ku bayangkan gerak lambat barang-barang kenangan yang di banting, jerit-menjerit, penyesalan karena mencintai orang yang keliru, warna-warna aneh saling serobot, cangkir kopi yang di lemparkan ke arah mu tapi meleset, wajah buram seseorang, semu merah muda di pipi cinta pertama mu yang malu-malu, serta macam-macam citraan lainnya saling mendesak dan berebut tempat.

Kau bilang tidak terjadi apa-apa barusan tapi sebagaiman kita semua, kau pernah mengalami De Javu. Empat atau lima kali. Terutama saat kanak-kanak. 
Lalu aku mengajak mu (dengan sedikit paksaan) duduk di teras swalayan, memberondong pikiran kalut mu dengan penjelasan paling sederhana tentang De Javu dan gempa waktu sebagaimana ku pelajari dari McClub. Kau mengangguk-angguk.

“pantas saja, kadang ku rasa aku menjalani ulang beberapa hal tanpa kesadaran. Dan waktu kesadaran kupulih, aku tiba-tiba sudah berada dalam situasi lain,” timpal mu.

Kau mengucapkan itu sambil mendongak, menatap langit-langit di atas teras swalayan. Aku berani bertaruh, ada berkilo-kilo kotoran tikus di balik selembar asbes itu.

Kau menawarkan minuman kaleng dan rokok yang baru saja kau beli. Aku memilih minuman cincau, lalu menyalakan rokok ku sendiri. “aku tidak suka Djarum Super,” kata ku, “Baunya seperti cucian kotor.” Kau tergelak. “kalau tidak ada uang buat beli rokok, mungkin aku bisa membakar pakaian ibu ku,” balas mu serius.

Dan aku mulai menghitung mundur. 4,3,2,1. 
“kau pasti dengar pembicaraan ku di telepon tadi. Kau berdiri di sebelah ku, kan?”

Dan ini adalah cerita mu plus omong kosong ku setelah gempa waktu terjadi.

Blind Blonde, penyanyi folk yang mengklaim bahwa lagu-lagunya lebih populer daripada kitab suci semua agama, pernah berkata: “keluasan dunia bagi seseorang di tentukan oleh seberapa luas keterlibatannya dengan orang lain.” Kau mulai dengan kutipan itu.

“maka dunia ku teramat sempit. Di dalamnya hanya ada aku dan ibu ku,” simpul mu kemudian.

Ibu mu perempuan baik. Sangat baik. Setidaknya begitu yang ku pahami dari penuturan mu. Setidaknya hingga lima tahun lalu, sebelum seseorang yang kau beri nama panggilan yang-bahkan-membuat-para-pelaut-bergidik itu mengubah segalanya. Tapi soal itu nanti saja. Sekarang aku akan mengulang cerita mu tentang kau dan ibu mu secara singkat tentunya.

Sewaktu kecil, ada dua hal yang paling tidak kau sukai. Pertama, iklan layanan masyarakat tentang keluarga idaman. Kedua, pelajaran PPKN. Alasannya: kedua hal tersebut sama-sama menganggap keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan seorang anak sebagai sesuatu yang tidak genap.

Keluarga yang genap, normal, ideal, atau apapun sebutannya di negeri ini, adalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, serta dua orang anak. Tapi kau dan ibu mu mempersetankan apa yang di anggap ideal itu. Dia membesarkan mu sendirian, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, sesuai lambang shio-nya, Naga, ibu mu begitu tangguh. Dia tak hanya berperan sebagai ibu , tapi juga mengisi kosongnya peran ayah dan saudara kandung bagi mu. Memastikan kalian berdua tidak akan kelaparan, melindungi mu dari segala rasa takut (bahkan yang datang dari mimpi kanak-kanak terliar sekalipun), mengajak mu bermain petak umpet, membantu mu mengerjakan tugas-tugas sekolah. Masa kecil mu adalah masa yang tidak di punyai anak-anak dari keluarga ideal. Tapi itu cerita dulu. Lima tahun silam, ibu mu jatuh cinta kepada seorang iblis. Pada mulanya, urusan mereka hanya urusan dagang. Ibu mu penjahit dan pria itu penyuplai kain. Lalu keduanya semakin sering bertemu, meski masih sebatas urusan dagang. Pria itu menginginkan ibu mu sebagai partner bisnisnya. Mereka mendirikan perusahaan dengan nama baru, dengan kapasitas produksi serta distribusi yang lebih luas. Kemudian....

Pada dasarnya kau adalah seorang pencuriga. Kau mulai menyadari sesuatu ketika bunga lili dan surat beraroma manis secara rutin di kirimkan ke kediaman kalian. Dari ibu mu, kau tahu bahwa pria itulah pengirimnya. Tapi dia merasa tak terganggu.

Ibu mu malah terlihat bahagia. Bibir dan pipinya hampir selalu bersemu merah. Maka apalah arti kecurigaan itu dibandingkan kebahagiaan ibu mu. Dan kau pikir, mungkin memang sudah saatnya ibu mu di temani seseorang. Toh ia sudah lumayan tua dan kau sudah bisa mengurus kebutuhan-kebutuhan mu sendiri. Tapi sayang kau keliru.

Mestinya kau selalu percaya pada kecurigaan mu, pada naluri yang tak pernah berkhianat.

Suatu hari laki-laki itu datang ke rumah mu saat kau sedang ada urusan di luar. Ia merayu ibu mu habis-habisan. Akibat rayuan itu, dan karena tingkat hubungan mereka memang sudah mencukupi, ibu mu menerima ajakannya untuk pindah ke kamar tidur. Atau, tepatnya, ke atas ranjang ibu mu yang senantiasa dingin. Setelahnya, hanya ada kiamat yang tak berujung. 

Kau menemukan ibu mu dalam keadaan yang lebih menyedihkan dari pada seekor binatang buruan : setengah sadar, tersedu-sedan, telanjang bulat, dan kedua tangan serta kakinya terikat.
Dan yang paling menghancurkan hati mu : di atas kulit perutnya yang putih, sekitar lima senti di bawah payudaranya, ada seonggok besar kotoran manusia. Warnanya cokelat kehitam-hitaman dan berbau amat busuk.
Kau nyaris semaput. Hanya kecintaan pada ibu mu lah yang membuat mu sanggup menahan semua itu. 
Tapi ibu yang kau cintai sudah mati.


Setelah peristiwa terkutuk itu, dia bukan lagi orang yang sama. Tubuhnya selalu gemetar.

Barangkali karena ide-ide sinting yang di sususpkan  tinja cokelat busuk itu dalam tempurung kepalanya. Saban hari dia tak akan mandi jika tidak kau mandikan. Tidak menyisir rambut jika tidak kau sisir.

Dan yang paling buruk, jauh lebih buruk dari pada maki-makian yang sejak itu lancar mengalir dari mulutnya, dia akan lenyap jika sedikit saja kau luput mengawasi. Maka kau tidak pernah punya kekasih atau sahabat. Waktu mu habis untuk bekerja agar kalian berdua tidak mati kelaparan dan untuk mengawasi ibu mu. Berkali-kali kau harus membetulkan pintu, gembok, dan gerendel yang di jebol olehnya. Mulanya kau begitu tegar menahan segalanya. Dua tahun pertama selepas kejadian, ibu mu selalu bisa kau temukan di toko minuman keras atau menggeletak di sekitar rumah karena mabuk.

Tahun ketiga dan keempat dia mulai gila berjudi. Dan sejak itu tak lagi ada tempat aman di rumah untuk menyimpan uang. Dia bahkan pernah mendongkel ubin, mencari tahu apakah kau menyembunyikan uang di baliknya.
Dan tahun ini ibu mu melakukan yang terburuk. Setelah dengan susah payah kau menebus sertifikat rumah yang digadaikannya ke bandar judi, beberapa bulan belakangan ini akhirnya ia melakukan hal yang paling kau takutkan, Ya! Ibu mu akhirnya melacurkan diri. Melonte, dalam arti yang sebenar-benarnya. 
Ya, kau bilang, sejak itu sudah tak terhitung seringnya kau berencana bunuh diri bersama ibu mu. Menyalakan gas setelah menutup semua jalur udara, membubuhkan arsenik ke dalam makanan mu, membeli pistol, dan sebagainya. 
Tapi di akhir cerita, yang kau lakukan hanyalah menemukan ibu mu di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kau lewati adalah penderiataan terakhir. Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.
 Dan karena itu aku bermaksud meninggalkan tempat ini. Menghentikan pembicaraan ini. Sekarang juga. Lalu aku akan menemukan ibu ku di tempat biasa, membawanya pulng ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja ku lewati adalah penderitaan terakhir. Tetapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Bukankah aku tahu itu?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar