Selasa, 01 Desember 2015

Indonesia timur



Papua or Irian jaya

“Apalah arti sebuah nama,” demikian William Shakespeare. Meski demikian, harus panjang jalan di lalui untuk mendapat sebuah pengakuan, demikian penyair berdendang. Memang, nama merupakan awal dari suatu interaksi. Karena itulah ada istilah: tak kenal maka tak sayang.

Bersamaan dengan terbitnya matahari pertama pada akhir milenium kedua, menjelang milenium ketiga, tepatnya 1 januari 2000, suatu peristiwa bersejarah di mulai di provinsi ujung timur tanah air. Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid, yang akrab di panggil Gus Dur, melansir sebutan baru untuk propinsi Irian Jaya, yakni Papua. Sebelumnya wilayah itu hanya di kenal dengan satu sebutan: Irian. Presiden Soekarno menyebutnya Irian Barat, yang dalam bahasa inggris di sebut West Irian. Pada periode selanjutnya presiden Soeharto mengganti Irian Barat menjadi Irian Jaya. Nama provinsi Irian Jaya mulai di sosialiasikan berdasarkan keppres. No. 5 Tahun 1973.


Selaras dengan perjalanan waktu, pulau tersebut menyandang berbagai nama dan sebutan. Hal ini seiring dengan jejak-jejak interaksinya dengan para pendatang.

Prof.Kern menyatakan, dalam suatu bagian kidung kitab ramayana mencantumkan adanya gunung Sji Sjira (pegunungan Papua yang berpuncak salju) yang terletak di ujung jawadwipa (indonesia). Hal yang sama dapat pula di baca dari karya Dr. Hinloopen Labberton yang berjudul Handboek van Insulinde, dan oleh N.J. Krom Hindu-Java Geschiedenis dan juga Prof. M. Coolenbroder dengan Koloniale Geschiedenis, 1915.


Pada zaman Sriwijaya sekitar abad ke6-12, Papua yang dinamakan Djanggi termasuk bagian dari wilayahnya. Menurut pendapat Kern dan Krom, pada zaman madjapahit (1292-1521) Papua dinamakan Wwanin. Sedangkan Rouffaer menyebutnya sebagai Onin di pantai Papua barat. Kemudian berbagai nama/sebutan berkembang dan di pergunakan untuk merujuk pada kesatuan geografis tersebut.


Untuk menelusuri sebutan untuk daerah itu, tidak pelak harus menyibak persentuhannya dengan para pendatang dalam lintasan zaman. Sebagaimana telah dikemukakan, kerajaan-kerajaan Nusantara awal telah mengenal adanya daerah tersebut dengan hasil bumi dan penduduknya yang berbeda.

Pada permulaan abad VIII terlihat adanya hubungan, baik langsung ataupun tidak langsung antara Papua dan negara Nusa Sriwijaya. Hubungan itu tampak dari bukti-bukti, adanya burung-burung yang berasal dari Papua. Semua itu dibawa oleh perutusan-perutusan Maharaja Sri Indrawan dari Sriwijaya untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok. Pada saat itu, pemberian upeti atau persembahan seperti itu selain mengandung makna adanya tanda pengakuan hegemoni suatu kerajaan, juga menyandang aspek perdangangan melalui pertukaran.

Di masa kerajaan Sriwijaya, para penulis berita menyebut Papua sebagai Djanggi. Lima abad kemudian, tepatnya sekitar abad XIII, seorang musafir Tionghoa bernama Chan Ju Kua menulis berita bahwa di kepulauan Indonesia di temukan suatu daerah bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Jika memang Tung-ki adalah sebutan Tionghoa untuk Djanggi, maka berita Chan Ju Kua ini memperlihatkan pada kita adanya hubungan erat antara Irian (Papua) dengan Maluku.


Pujangga, Prapanca dalam bukunya yang berjudul ‘Negara Kertagama’ menyebutkan bahwa sebagian dari Papua merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan Majapahit. Diantara sejumlah nama-nama daerah lainnya yang terletak dibagian timur kepulauan Indonesia itu disebut nama-nama Wwanin, Sran, dan Timur. Wwanin menurut sejumlah sarjana bahasa ialah nama lain untuk daerah Onin. Sedangkan Sran adalah nama lain untuk daerah Kowiai. Keduanya merupakan daerah di Irian (Papua). Sementara Timur mungkin merupakan nama lain untuk Pulau Timor, atau bisa jadi merupakan nama lain untuk daerah bagian timur Papua. Dengan keterangan tersebut, agaknya sulit untuk disangkal bahwa beberapa daerah di Papua pada abad XIV, dianggap merupakan bagian dari yuridiksi kedaulatan kerajaan Majapahit.


Setelah itu, eksplorasi kawasan timur Nusantara tidak banyak diketahui. Informasi tentang Papua kemudian muncul dalam cerita dan tulisan petualangan bangsa-bangsa barat (Eropa) di Nusantara. Diawali dengan kapal-kapal portugis, pelayaran Eropa lainnya menyusul mendekati perairan Papua. Perjalanan sejarah selanjutnya memperlihatkan Belanda lah yang bisa bertahan mengembangkan kekuasaannya di sana.

Dua orang pelaut portugis, Antonio d’Abreau dan Fransisco Serrano dalam pelayarannya mencari rempah-rempah telah melihat pantai utara Papua. Walaupun mereka tidak memberikan nama untuk pantai yang telah mereka lihat, namun kejadian tersebut telah menjadi semacam titik awal bagi bangsa barat dalam mengenal pulau itu.

Ketika Magelhaens melakukan pelayaran keliling dunia yang pertama pada tahun 1521, ia telah sampai di Tidore. Dalam buku hariannya ia juga menulis barang-barang serta rempah-rempah yang dibawanya. Ia juga menggambarkan daerah asal rempah-rempah tersebut. Beberapa bagian pada catatannya menyebut barang-barang itu berasal dari luar maluku. Catatan harian dari seorang Pigafeta, seorang Italia yang mengikuti pelayaran Magelhaens, menyebutkan raja Kafir (Pagan King) di sana. Namun Pigafeta tidak menyebutkan letak negeri tersebut. Sampai pada catatan tersebut kisah tentang Papua, masih tertutup tabir misteri.


Seorang pelaut Portugis bernama Don Jorge De Meneses, berlayar dari semenanjung malaya menuju ke kepulauan rempah-rempah dengan menempuh jalan yang berbeda. Ia kemudian menemukan pantai di sebuah pulau besar dan memberinya nama dalam bahasa Melayu “Papua”. Sebutan itu diberikan pada tahun 1511. Kata Papua berasal dari bahas Melayu kuno, papawah yang berarti: orang yang berambut keriting.

Sebutan Papua di temukan pada surat-surat perjanjian anatara Inggris dan Tidore yang menjadi yang di pertuan atas wilayah itu. Harsja W.Bachtiar mengutip sebagian perjanjian itu yang dalam tulisannya menyatakan :

“Tanggal 27 oktober 1814, ketika Inggris empat tahun menguasai semua daerah di kepulauan Nusantara yang dijajah Belanda, sebagai sekutu Perancis di bawah kaisar Napoleon, diadakan surat perjanjian antara sultan Tidore dan sultan Ternate. Perjanjian yang disaksikan oleh W.B. Martin, residen inggris di maluku, dibuat untuk menetapkan batas-batas wialayah kedua kerajaan. Itu dimaksud agar supaya tidak timbul lagi persoalan-persoalan mengenai hak dan kewajiban masing-masing. Dalam perjanjian tersebut disebutkan  daerah tengah dan timur halmahera, dan sejumlah pulau di sebut namanya satu persatu. Dan seluruh pulau-pulau Papua serta daerah Manasaeri, Karondifr, Amperbu dan Amberpon di Papua sebelah barat, dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan Sultan Tidore.


Alvaro de Saavedra, seorang pemimpin armada Spanyol menyebut-nyebut nama Papua dengan sebutan Isla del Oro atau Island of Gold. Ia singgah di pantai utara Papua ketika di utus oleh Gubernur Spanyol di Tidore untuk berangkat ke Meksiko pada tahun 1528. Konon adanya kata: kaya, pulau emas, dari Alvaro de Saavedra tentang pulau emas inilah yang telah menyebabkan orang-orang Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Papua. Berbagai pelayaran di lakukan setelah itu tidak melupakan temuan Saavedra. Mereka terus berupaya mencapai Papua.


Orang yang pertama yang memberikan nama New Guinea adalah Nigo Ortis de Retes. Saat itu ia sedang berlabuh di muara sungai Amberno (Mamberamo) di pantai utara Papua. Nigo Ortis de Retes menamakan pulau tersebut dengan nama “Nueva Guinea” karena melihat penduduknya yang berkulit hitam sama seperti penduduk di pantai Afrika Barat. Sebutan yang diberikan de Retes tersebut ditulis dalam peta abad XVI dalam bentuk latin yaitu Nova Guinea, dan dalam peta belanda di tulis dengan Nieuw Guinea atau Nieuw Guinee. Sebutan itu tetap digunakan oleh Belanda dalam masa penguasaannya atas wilayah itu.


Setelah Papua dikenal oleh orang-orang Eropa, maka berdatanganlah ke sana orang-orang Spanyol, Portugis, Prancis, Jerman, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya. Sampai saat ini di Irian /Papua masih banyak terdapat nama-nama daerah yang bisa mengingatkan orang akan kunjungan bangsa Barat tersebut. Misalnya Selat Torres (Spanyol), Tanjung d’Urville (Prancis), Teluk Humbold (Jerman), Bougainville (Prancis), dan banyak lagi lainnya. Penamaam itu di dasarkan pada pandangan yakni bahwa merekalah “penemu” tempat tersebut.


Memasuki abad XVIII, pemerintah kolonial Belanda mulai menguasai wilayah tersebut. Dan memberinya nama Nieuwe Guinea atas wilayah tersebut. Dan Setelah Indonesia merdeka, wilayah yang semula di namai West Nieuw Guinea di ubah menjadi Irian Barat. Yang dalam bahasa penduduk kepulauan Kei, nama Irian berarti “rambut kribo”. Nama Irian pertama kali di usulkan oleh Frans Kaisepo (berasal dari Biak) sebagai pengganti West Nieuw Guinea. Kala itu ia adalah salah seorang wakil Nieuw Guinea dalam kongres Malino di Makasar 25 Juli 1946. Sejak saat itulah, tepatnya sejak pertama kali di ucapkan, pemerintah Indonesia terus menggunakan kata Irian untuk merujuk pada wilayah barat dari sebuah pulau besar yang terletak di bagian timur nusantara. Namun ada juga sebagian rakyat pada masa kemerdekaan, khususnya di kalangan pejuang nama IRIAN sering dianggap sebagai akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland,” sebagai ungkapan untuk lebih mengobarkan semngat juang pada masa itu.


Sekian tulisan ini di buat untuk memperingati hari identitas Papua 1 Desember untuk mengingatkan Pemerintah RI agar tidak hanya memikirkan pembangunan JAKARTA dan JAWA (Indonesia Barat) saja...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar