Papua or Irian jaya
“Apalah arti
sebuah nama,” demikian William Shakespeare. Meski demikian, harus panjang jalan
di lalui untuk mendapat sebuah pengakuan, demikian penyair berdendang. Memang,
nama merupakan awal dari suatu interaksi. Karena itulah ada istilah: tak kenal
maka tak sayang.
Bersamaan
dengan terbitnya matahari pertama pada akhir milenium kedua, menjelang milenium
ketiga, tepatnya 1 januari 2000, suatu peristiwa bersejarah di mulai di
provinsi ujung timur tanah air. Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid, yang
akrab di panggil Gus Dur, melansir sebutan baru untuk propinsi Irian Jaya,
yakni Papua. Sebelumnya wilayah itu hanya di kenal dengan satu sebutan: Irian.
Presiden Soekarno menyebutnya Irian Barat, yang dalam bahasa inggris di sebut
West Irian. Pada periode selanjutnya presiden Soeharto mengganti Irian Barat
menjadi Irian Jaya. Nama provinsi Irian Jaya mulai di sosialiasikan berdasarkan
keppres. No. 5 Tahun 1973.
Selaras dengan perjalanan waktu, pulau tersebut menyandang berbagai nama dan sebutan. Hal ini seiring dengan jejak-jejak interaksinya dengan para pendatang.
Prof.Kern
menyatakan, dalam suatu bagian kidung kitab ramayana mencantumkan adanya gunung
Sji Sjira (pegunungan Papua yang berpuncak salju) yang terletak di ujung
jawadwipa (indonesia). Hal yang sama dapat pula di baca dari karya Dr.
Hinloopen Labberton yang berjudul Handboek van Insulinde, dan oleh N.J. Krom
Hindu-Java Geschiedenis dan juga Prof. M. Coolenbroder dengan Koloniale
Geschiedenis, 1915.
Pada zaman Sriwijaya sekitar abad ke6-12, Papua yang dinamakan Djanggi termasuk bagian dari wilayahnya. Menurut pendapat Kern dan Krom, pada zaman madjapahit (1292-1521) Papua dinamakan Wwanin. Sedangkan Rouffaer menyebutnya sebagai Onin di pantai Papua barat. Kemudian berbagai nama/sebutan berkembang dan di pergunakan untuk merujuk pada kesatuan geografis tersebut.
Untuk menelusuri sebutan untuk daerah itu, tidak pelak harus menyibak persentuhannya dengan para pendatang dalam lintasan zaman. Sebagaimana telah dikemukakan, kerajaan-kerajaan Nusantara awal telah mengenal adanya daerah tersebut dengan hasil bumi dan penduduknya yang berbeda.
Pada permulaan
abad VIII terlihat adanya hubungan, baik langsung ataupun tidak langsung antara
Papua dan negara Nusa Sriwijaya. Hubungan itu tampak dari bukti-bukti, adanya
burung-burung yang berasal dari Papua. Semua itu dibawa oleh
perutusan-perutusan Maharaja Sri Indrawan dari Sriwijaya untuk dipersembahkan
kepada kaisar Tiongkok. Pada saat itu, pemberian upeti atau persembahan seperti
itu selain mengandung makna adanya tanda pengakuan hegemoni suatu kerajaan,
juga menyandang aspek perdangangan melalui pertukaran.
Di masa
kerajaan Sriwijaya, para penulis berita menyebut Papua sebagai Djanggi. Lima
abad kemudian, tepatnya sekitar abad XIII, seorang musafir Tionghoa bernama
Chan Ju Kua menulis berita bahwa di kepulauan Indonesia di temukan suatu daerah
bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Jika memang
Tung-ki adalah sebutan Tionghoa untuk Djanggi, maka berita Chan Ju Kua ini memperlihatkan
pada kita adanya hubungan erat antara Irian (Papua) dengan Maluku.
Pujangga, Prapanca dalam bukunya yang berjudul ‘Negara Kertagama’ menyebutkan bahwa sebagian dari Papua merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan Majapahit. Diantara sejumlah nama-nama daerah lainnya yang terletak dibagian timur kepulauan Indonesia itu disebut nama-nama Wwanin, Sran, dan Timur. Wwanin menurut sejumlah sarjana bahasa ialah nama lain untuk daerah Onin. Sedangkan Sran adalah nama lain untuk daerah Kowiai. Keduanya merupakan daerah di Irian (Papua). Sementara Timur mungkin merupakan nama lain untuk Pulau Timor, atau bisa jadi merupakan nama lain untuk daerah bagian timur Papua. Dengan keterangan tersebut, agaknya sulit untuk disangkal bahwa beberapa daerah di Papua pada abad XIV, dianggap merupakan bagian dari yuridiksi kedaulatan kerajaan Majapahit.
Setelah itu, eksplorasi kawasan timur Nusantara tidak banyak diketahui. Informasi tentang Papua kemudian muncul dalam cerita dan tulisan petualangan bangsa-bangsa barat (Eropa) di Nusantara. Diawali dengan kapal-kapal portugis, pelayaran Eropa lainnya menyusul mendekati perairan Papua. Perjalanan sejarah selanjutnya memperlihatkan Belanda lah yang bisa bertahan mengembangkan kekuasaannya di sana.
Dua orang
pelaut portugis, Antonio d’Abreau dan Fransisco Serrano dalam pelayarannya
mencari rempah-rempah telah melihat pantai utara Papua. Walaupun mereka tidak
memberikan nama untuk pantai yang telah mereka lihat, namun kejadian tersebut
telah menjadi semacam titik awal bagi bangsa barat dalam mengenal pulau itu.
Ketika
Magelhaens melakukan pelayaran keliling dunia yang pertama pada tahun 1521, ia
telah sampai di Tidore. Dalam buku hariannya ia juga menulis barang-barang
serta rempah-rempah yang dibawanya. Ia juga menggambarkan daerah asal
rempah-rempah tersebut. Beberapa bagian pada catatannya menyebut barang-barang
itu berasal dari luar maluku. Catatan harian dari seorang Pigafeta, seorang
Italia yang mengikuti pelayaran Magelhaens, menyebutkan raja Kafir (Pagan King)
di sana. Namun Pigafeta tidak menyebutkan letak negeri tersebut. Sampai pada
catatan tersebut kisah tentang Papua, masih tertutup tabir misteri.
Seorang pelaut Portugis bernama Don Jorge De Meneses, berlayar dari semenanjung malaya menuju ke kepulauan rempah-rempah dengan menempuh jalan yang berbeda. Ia kemudian menemukan pantai di sebuah pulau besar dan memberinya nama dalam bahasa Melayu “Papua”. Sebutan itu diberikan pada tahun 1511. Kata Papua berasal dari bahas Melayu kuno, papawah yang berarti: orang yang berambut keriting.
Sebutan Papua
di temukan pada surat-surat perjanjian anatara Inggris dan Tidore yang menjadi
yang di pertuan atas wilayah itu. Harsja W.Bachtiar mengutip sebagian
perjanjian itu yang dalam tulisannya menyatakan :
“Tanggal 27
oktober 1814, ketika Inggris empat tahun menguasai semua daerah di kepulauan
Nusantara yang dijajah Belanda, sebagai sekutu Perancis di bawah kaisar
Napoleon, diadakan surat perjanjian antara sultan Tidore dan sultan Ternate.
Perjanjian yang disaksikan oleh W.B. Martin, residen inggris di maluku, dibuat
untuk menetapkan batas-batas wialayah kedua kerajaan. Itu dimaksud agar supaya
tidak timbul lagi persoalan-persoalan mengenai hak dan kewajiban masing-masing.
Dalam perjanjian tersebut disebutkan daerah tengah dan timur halmahera,
dan sejumlah pulau di sebut namanya satu persatu. Dan seluruh pulau-pulau Papua
serta daerah Manasaeri, Karondifr, Amperbu dan Amberpon di Papua sebelah barat,
dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan Sultan Tidore.
Alvaro de Saavedra, seorang pemimpin armada Spanyol menyebut-nyebut nama Papua dengan sebutan Isla del Oro atau Island of Gold. Ia singgah di pantai utara Papua ketika di utus oleh Gubernur Spanyol di Tidore untuk berangkat ke Meksiko pada tahun 1528. Konon adanya kata: kaya, pulau emas, dari Alvaro de Saavedra tentang pulau emas inilah yang telah menyebabkan orang-orang Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Papua. Berbagai pelayaran di lakukan setelah itu tidak melupakan temuan Saavedra. Mereka terus berupaya mencapai Papua.
Orang yang pertama yang memberikan nama New Guinea adalah Nigo Ortis de Retes. Saat itu ia sedang berlabuh di muara sungai Amberno (Mamberamo) di pantai utara Papua. Nigo Ortis de Retes menamakan pulau tersebut dengan nama “Nueva Guinea” karena melihat penduduknya yang berkulit hitam sama seperti penduduk di pantai Afrika Barat. Sebutan yang diberikan de Retes tersebut ditulis dalam peta abad XVI dalam bentuk latin yaitu Nova Guinea, dan dalam peta belanda di tulis dengan Nieuw Guinea atau Nieuw Guinee. Sebutan itu tetap digunakan oleh Belanda dalam masa penguasaannya atas wilayah itu.
Setelah Papua dikenal oleh orang-orang Eropa, maka berdatanganlah ke sana orang-orang Spanyol, Portugis, Prancis, Jerman, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya. Sampai saat ini di Irian /Papua masih banyak terdapat nama-nama daerah yang bisa mengingatkan orang akan kunjungan bangsa Barat tersebut. Misalnya Selat Torres (Spanyol), Tanjung d’Urville (Prancis), Teluk Humbold (Jerman), Bougainville (Prancis), dan banyak lagi lainnya. Penamaam itu di dasarkan pada pandangan yakni bahwa merekalah “penemu” tempat tersebut.
Memasuki abad XVIII, pemerintah kolonial Belanda mulai menguasai wilayah tersebut. Dan memberinya nama Nieuwe Guinea atas wilayah tersebut. Dan Setelah Indonesia merdeka, wilayah yang semula di namai West Nieuw Guinea di ubah menjadi Irian Barat. Yang dalam bahasa penduduk kepulauan Kei, nama Irian berarti “rambut kribo”. Nama Irian pertama kali di usulkan oleh Frans Kaisepo (berasal dari Biak) sebagai pengganti West Nieuw Guinea. Kala itu ia adalah salah seorang wakil Nieuw Guinea dalam kongres Malino di Makasar 25 Juli 1946. Sejak saat itulah, tepatnya sejak pertama kali di ucapkan, pemerintah Indonesia terus menggunakan kata Irian untuk merujuk pada wilayah barat dari sebuah pulau besar yang terletak di bagian timur nusantara. Namun ada juga sebagian rakyat pada masa kemerdekaan, khususnya di kalangan pejuang nama IRIAN sering dianggap sebagai akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland,” sebagai ungkapan untuk lebih mengobarkan semngat juang pada masa itu.
Sekian
tulisan ini di buat untuk memperingati hari identitas Papua 1 Desember untuk
mengingatkan Pemerintah RI agar tidak hanya memikirkan pembangunan JAKARTA dan
JAWA (Indonesia Barat) saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar